Bag. 8

4.5K 258 34
                                    


Jika cobaan adalah jubah kebesaran, maka sabar adalah mahkotanya. Ujian hanya akan terasa berat, terlalu menyiksa bagi mereka yang meninggalkan dahan ikhlas dan tabah dalam hatinya.

Karena cobaan dari Allah, tidak akan luntur. Tidak akan hilang begitu saja, meski manusia meneteskan seribu air mata duka. Hanya tawakkal dan ikhtiar, satu-satunya pegangan agar tak jatuh ke dalam jurang kekufuran.

Sudah genap satu bulan, Ulfi sehari-hari mengurung diri di dalam kamar. Penyakitnya tak kunjung sembuh, malah semakin parah. Rintihan kesakitan, acapkali keluar tanpa sadar, saat ia terlelap.

Musim berganti, menyapa kemarau, mengucapkan selamat tinggal pada penghujan. Tetes-tetes air tercurah seakan menyampaikan salam perpisahan dari awan mendung yang berarak bergandengan tangan di langit, disaksikan sang surya.

Kemilau tetes bening itu juga tercipta dari netra beriris hitam, tatkala pandangannya beradu dengan tetes hujan terakhir. Gadis itu mengusap pipinya yang basah. Sekuat tenaga ia menahan, acapkali kesedihan itu melahirkan air mata tanpa diminta.

"Ulfi."

Tarikan napas terdengar panjang, sebelum gadis itu menoleh, menyunggingkan senyum pada sang ibu.

"Ya, Bu?"

Ibunya tak menjawab. Wanita itu duduk di sofa yang sama dengan putrinya. Menatap dari samping. Wajah ayu nan bersahaja itu terlihat redup, tak lagi bersinar. Hampir seluruhnya tertutupi bentol-bentol kecil yang pasti gatal dan perih.

Jika sudah begini, masihkah ia berani berharap ada lelaki baik-baik yang mau meminang putrinya?

Ibu Ulfi menggeleng. Biarpun takdir Ulfi perawan seumur hidup, sebagai ibu, dia akan menerima. Bukankah sudah seharusnya setiap orang tua merentangkan tangan lebar-lebar, memeluk anak-anaknya, apapun kekurangan mereka?

Helaan napas tak kalah berat ia embuskan.

"Ibu, apa ... Ulfi sangat menjijikkan?"

Tersentak. Pertanyaan sarat luka dari sang putri tak urung menambah pilunya. Ada sayatan lagi di sana, di dalam hati seorang ibu.

Menggeleng keras, wanita itu menggenggam tangan Ulfi.

"Tidak, Nak. Tentu saja tidak. Kenapa kamu berpikir seperti itu?"

Ulfi diam. Bibirnya terkatup rapat, seperti tak hendak membuka. Sang ibu segera maklum, ada yang disembunyikan putrinya.

"Bude Artinah yang bilang?"

Ulfi menoleh cepat. Menatap ibunya dengan mata membelalak.

Tanpa dijawab sekali pun, wanita paruh baya itu tahu, sangkaannya benar. Ingatan pahit kembali melayang. Saat kakak perempuan itu mencela habis-habisan, karena ia bersikukuh menolak tegas permintaan agar bercerai dengan sang suami. Semenjak itu, hubungan mereka memburuk. Sering kali tatapan melengos dan mulut terbungkam rapat ia dapatkan, saat mereka bersua.

Meski begitu, ayah Ulfi selalu mewanti-wanti pada istrinya, agar tak sekali pun membalas perbuatan itu.

"Kita sedang diuji sama Allah. Tidak sabar sedikit saja, buyar pahala kita," pesannya tiap kali keduanya berbincang di malam hari. Membuat ibu Ulfi semakin kagum pada sang suami. Bagaimana bisa memiliki hati seluas samudra?

Apa itu berarti suaminya manusia sempurna? Tidak. Sekali-kali, tidak. Awal-awal pernikahan, ayah Ulfi adalah sosok yang cenderung arogan, temperamen, hingga membuat takut anak-anaknya. Namun, seiring perjalanan waktu, tabiat itu berkurang, menjadi sosok yang bijaksana. Darinya, ia dan anak-anak mendapatkan banyak pelajaran dan teladan kehidupan.

SantetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang