18. Pengulangan.

1.5K 157 16
                                    

Satu setengah bulan setelah Anne dilarikan ke rumah sakit saat ia dan June bertengkar. Lelaki itu kini tengah berbaring di paha istrinya sambil sesekali berbicara dengan perut Anne—calon bayinya. June terkekeh sendiri, kemudian menciumi perut Anne gemas sementara perempuan itu ikut terkekeh sambil membelai rambut suaminya.

Terdengar tarikan napas yang dilakukan oleh June. Dipeluknya perut Anne, lantas kembali berujar, "Hari ini Papa kangen banget sama kamu, Kak."

Sambil membelai rambut June, Anne menyahut, "Oh...kangennya sama dedek bayi aja? Sama aku engga? Fine."

Melirik Anne yang kini masih membelai rambutnya, June mendecih, kemudian memelankan volume suaranya, "Tuh, dengar ga kamu, Kak? Si Mama tuh nethink aja sama Papa. Coba bilangin deh, jangan nethink. Nanti Papa cium sampai ga bisa napas, lho." Kemudian, yang selanjutnya terdengar adalah tawa pecah Anne. Perempuan itu hendak menunduk—untuk mengecup dahi suaminya—namun segera ditahan oleh June. "Jangan, Sayang. Nanti dedek bayi sakit karena ketekuk. Aku aja yang bangun." June duduk, mendekatkan kepalanya pada Anne, membiarkan perempuan itu mengecup dahinya agak lama.

Senyum merekah di bibirnya begitu dahi June menjauh. Anne memegang tangan June yang mengusap perutnya. "Jadi, kamu cuma kangen sama adek bayi? Sama aku engga?" Anne bertanya lagi.

June terkekeh. Dikecupnya wajah Anne berkali-kali, kemudian merengkuh tubuh mungil itu ke dalam pelukan. "Kalau sama kamu ngga usah ditanya, Sayang. Jelas kangen dan akan selalu begitu," ucapnya, kembali mengecupi wajah Anne, membuat perempuan itu terkekeh sambil menghindari kecupan-kecupannya.

Keduanya larut dalam obrolan mengenai kamar bayi yang baru saja tadi sore mereka selesai hias. Sejak sebulan lalu, June dan Anne sudah mulai membeli peralatan dan perlengkapan bayi di hari Sabtu, kemudian menghias kamar untuk calon bayi mereka di hari Minggu. Barangkali itu adalah momen paling membahagiakan yang mereka rasakan saat ini. Belum lahir saja calon bayi mereka sudah membuat ayah dan ibunya bahagia bukan kepalang, bagaimana kalau sudah lahir nanti? Ah... memikirkan itu membuat baik June maupun Anne jadi tidak sabar untuk menyambut kelahiran bayi mereka.

"Lihat kamar si Adek yuk, Mas."

"Bukan adek, Sayang. si Kakak," June mengoreksi, membuat alis Anne menukik. "Kan, nanti dia pasti punya adik, jadi kita jangan panggil dia 'adek', harus 'kakak'."

Sejurus setelah June menyelesaikan kalimatnya dengan wajah serius, Anne tertawa. Perempuan itu mencubit pipi June, menarik dagingnya sampai sang empunya mengaduh. "Yang ini aja belum lahir, udah ngerencanain buat punya lagi? Unik kamu, Mas."

Pelan, dijauhkannya tangan Anne dari pipi kirinya yang terasa nyut-nyutan. "Ya, aku kan orangnya berorientasi ke masa depan, Sayang," jawab June, sambil menyengir tak jelas. "Ya udah yuk, kita lihat kamar si Kakak." June turun dari ranjang, diikuti Anne, kemudian digandengnya tangan Anne. Mereka keluar dari kamar, Anne menutup pintunya, kemudian June membuka pintu kamar yang berada tepat di samping kamar mereka.

Usai membuka pintu, June masuk terlebih dulu. Dirabanya dinding kamar tersebut, lantas menekan sakelarnya. Setelah lampu menyala, barulah June mempersilakan Anne untuk masuk ke dalam kamar—perempuan itu tidak suka dan takut berada di tempat gelap. Agak lama Anne memandangi kamar calon bayinya. Tanpa disadarinya, senyum merekah di bibir ranum itu. Ia melepas pegangan tangan June dari tangannya, berjalan lebih dalam sampai kakinya berpijak di atas karpet berwarna abu-abu tua—nyaris hitam.

Kamar ini didominasi oleh warna abu-abu, mulai dari abu-abu muda—yang nyaris putih—sampai abu-abu tua. June dan Anne sepakat untuk membuatkan kamar berkonsep monokrom bagi calon anak mereka. Mereka pikir, konsep itu bagus dan menenangkan. June sendiri yang mengecat dinding di kamar itu—melihat tutorial terlebih dulu, tentu saja. Mereka meletakkan ranjang bayi di dekat dinding yang berhadapan langsung dengan jendela, tujuannya agar anak mereka nantinya akan mendapat sinar matahari yang cukup. Di tengah kamar, Anne meletakkan sebuah karpet bulu berbentuk lingkaran, yang ditujukan untuk tempat mereka bermain dengan anaknya nanti. Di atas karpet bulu tadi, diletakan juga sebuah bantal berbentuk seperti donat, kemudian ada mainan yang terbuat dari kayu juga—untuk si kecil main nanti.

LionneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang