3. Ambruk

1.8K 157 16
                                    



Semangkuk bubur di tangannya Anne taruh di atas nakas. Sambil duduk di kasur—tepat di samping June—ia mengangkat telepon yang sedari tadi berdering.

"Iya, Mba."

"..."

Anne menunduk, menatap June yang kini mendekatkan dirinya pada Anne, kemudian memeluk pinggang ramping perempuan itu. "Hari ini aku izin kerja, Mba." Anne mengusap-usap punggung June. Hawa panas dirasakannya ketika napas June mengenai permukaan kulit tangannya. "Suamiku sakit. Semalam baru aja ke dokter."

"..."

"Dokter bilang sih kecapekan. Badannya juga panas." Anne menempelkan punggung tangannya pada dahi June. "Nih, sekarang aja demamnya belum turun. Makanya tadi aku izin buat ga masuk."

"..."

"Iya, lain kali deh, Mba. Oke-oke. Makasih, Mba Linda." Usai berkata demikian, Anne menutup sambungan telepon.

Ditaruhnya ponsel itu di nakas, kemudian mengalihkan semua perhatiannya pada June yang kini tengah memejamkan mata. Hidungnya tampak memerah dengan napas yang sesekali tersumbat. Ia mengusap anak rambut di dahi June, kemudian mengusap pipi lelaki itu pelan.

Ada rasa kesal sekaligus kasihan yang menjalari dada Anne. Kesal, karena selama seminggu ini June begitu sibuk mengurusi sebuah kasus sampai-sampai ia lupa bahwa dirinya perlu dirawat. Setiap hari selama seminggu terakhir, June akan pergi lagi setelah mengantar Anne pulang. Lelaki itu bahkan sering melewatkan jadwal makannya ketika dirinya tidak dalam pengawasan Anne, dan tidur dengan waktu yang sangat sebentar. Ia tidur beberapa jam setelah Anne tidur namun bangun lagi beberapa jam sebelum Anne bangun. June seolah lupa bahwa tubuhnya tidak sekuat itu untuk ia ajak bekerja hampir dua puluh empat jam penuh.

Ini bukan kali pertama June sakit karena mengurusi sebuah kasus. Bahkan, ketika keduanya masih berpacaran pun, June sering mengalami hal ini. Tapi tetap saja, ketika itu terjadi, Anne merasa kesal pada June dan bahkan dirinya sendiri yang tidak bisa menjaga suaminya dengan baik.

Anne mendekatkan wajahnya pada wajah June, kemudian berbisik, "Mas, makan dulu, yuk. Habis itu minum obat."

June diam. Bibirnya sedikit terbuka untuk mengambil napas, sementara matanya masih terpejam, terlalu berat rasanya untuk dibuka. Deheman terdengar dari June, namun ia tetap geming pada posisi semula.

Lagi, Anne mengusap pipi June. "Makan dulu. Aku buatin bubur. Tadi, katanya kamu mau makan sama bubur, kan?"

Pelan, June membuka mata. Ia membuang napas melalui mulut, kemudian duduk bersandar pada punggung ranjang. Disesapnya secangkir teh manis hangat yang Anne sodorkan padanya, lantas memberikannya kembali pada Anne. June membuka mulut ketika Anne menyuapkan sesendok bubur padanya. Sama seperti teh manis hangat tadi, rasa buburnya hambar. Sedikitpun June tak menyalahkan Anne. Jelas, di sini bukan istrinya yang salah, melainkan dirinya yang memang sedang sakit sehingga panca indranya tidak bekerja sebagaimana mestinya.

"Enak ngga, Mas?" Anne bertanya sambil menyuapkan sesendok bubur lagi.

June menatap Anne, kemudian menggeleng sambil memakan buburnya. "Hambar. Mulut aku pahit banget rasanya," kata June, dengan suara khas orang sakit. "Udah."

Anne menggeleng. "Baru berapa suap? Sedikit lagi."

June memegang tangan Anne yang menyuapkan bubur padanya, lantas berkata lagi, "Udah."

"Sekali lagi."

June menyerah. Ia membuka mulut, memakan suapan bubur terakhir Anne, lantas meneguk air putih yang Anne berikan padanya. Lelaki itu memegang gelasnya, sementara matanya menatap Anne yang kini sibuk mengeluarkan beberapa jenis obat dari bungkusnya untuk kemudian ia berikan pada June.

Mulutnya tak tinggal diam ketika tangannya sibuk menyobek kemasan obat. Anne mengocehi June, "Mas, kamu kalau kerja tolong jangan sampai berlebihan kayak gini. Kan aku udah sering bilang." Ia menaruh satu kaplet obat di tangan kiri June. "Kalau aku bilang istirahat, ya istirahat dulu. Kalau aku bilang makan, ya makan dulu. Kamu juga perlu ngerawat diri kamu, Mas. Jangan terus-terusan ngurusin kasus sampai lupa daratan."

June hanya diam, mendengarkan Anne dengan saksama.

"Kalau kamu sakit kan kerjaannya jadi terbengkalai juga. Semuanya itu harus seimbang. Kerja, makan, istirahat, refreshing. Kalau porsi salah satunya lebih banyak daripada yang lain, nantinya bakal ngga bagus juga buat kamu." Usai membuka bungkus obat yang terakhir, Anne mengambil obat yang ada di tangan kiri June, kemudian menyodorkannya pada June satu per satu. "Nih, minum dulu."

June hanya menuruti perkataan Anne tanpa mengatakan apapun.

Setelah June menelan obat yang terakhir, Anne menaruh gelas air putih tadi di nakas, lantas kembali mengoceh, "Kamu dengar ga aku ngomong apa, Mahesa?" Perempuan itu menatap June. Tangan kanannya mengusap rambut June, sementara tangan kirinya memijat telapak tangan lelaki itu.

June mengangguk beberapa kali. "Iya, aku dengar."

"Sekarang kamu istirahat dulu. Tidur, biar cepat sembuh." Anne membantu June untuk berbaring, membenarkan posisi selimut yang menutupi tubuh lelaki itu, lantas mengecup dahinya singkat.

Tangan kiri June menahan tangan kanan Anne. Ia menatap perempuan itu, menariknya untuk lebih dekat padanya, kemudian berkata, "Sama kamu."

Anne naik ke atas kasur, lantas berbaring di samping June dengan posisinya yang memeluk June dengan tangan kiri. Diusapnya bahu June pelan dan teratur, sementara lelaki itu menempelkan kepalanya ke dada Anne, dengan tangan kanan yang memeluk pinggang ramping istrinya.

Berusaha membuat June cepat tidur, Anne bersenandung pelan sambil sesekali mengecupi dahi lelaki itu. Tanpa ia ketahui, bibir June melengkung ke atas sebagai reaksi dari aksi yang dilakukannya saat ini.

Ah... kalau kayak begini, gue betah deh sakit lama-lama.

Tak lama setelahnya, June tertidur pulas di pelukan Anne. Anne menunduk, mengusap pipi June, lantas kembali mendekapnya.

"Jangan sakit lama-lama ya, Mas," monolog Anne. "Aku sedih lihat kamu sakit." Usai berkata demikian, Anne menutup mulutnya yang menguap. Matanya terpejam seiring rasa kantuk yang mulai datang.

Ketika Anne masih berada di alam bawah sadarnya, June sempat terbangun lantaran hidungnya yang tersumbat. Ia mengucek hidungnya, berharap kalau itu akan membuat pernapasannya kembali normal. Kemudian, tatapannya berhenti pada wajah Anne yang masih terlelap begitu pulas di depannya.

June diam, mengusap anak rambut yang membelai wajah Anne, kemudian mendekatkan bibirnya pada bibir Anne. Belum sempat June menempelkan bibirnya pada bibir Anne, ia menggeleng pelan. Jangan anjir. Ntar bini gue ketularan sakit. Ia menarik kembali kepalanya ke posisi semula, kemudian mengusap bibir Anne dengan ibu jarinya.

Anne, makasih udah ngerawat aku. Aku harus cepat sembuh biar bisa cium bibir kamu lagi. 




[]




Bukan cuma June yang ambruk. Aku juga ambruk manteman:')


LionneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang