DUA

86 10 6
                                    

Sungguh diluar kebiasaan, pagi ini aku bangun terlambat. Selama ini, belum pernah sekalipun aku bangun lebih dari pukul tujuh pagi. Dengan sedikit bergegas aku segera bersiap-siap untuk berangkat ke kantor. Waktu tempuh dari rumahku di daerah Buncit ke kantor memang cukup dekat, tetapi tetap saja kemacetan bisa terjadi kapanpun dan membuat jalanan menjadi sangat jauh.

Jam menunjukan tepat pukul 08:45 pagi. Aku memang terbilang orang yang ribet dalam masalah apapun, terlebih untuk siap-siap ke kantor. Segalanya sudah ku tuliskan di secarik kertas yang tertempel di pintu lemari baju. Sebagai orang yang detail dan terorganisir, aku ingin semuanya berjalan seperti apa yang telah direncanakan dan ditulis. Butuh waktu sekitar 20 menit untuk aku sampai ke kantor, namun terkhusus hari ini membutuhkan ekstra 7,5 menit dari biasanya, apalagi kalau bukan karena macetnya Jakarta dan deretan lampu merah di daerah Mampang.

Aku berjalan masuk ke dalam kantor seperti biasa, namun ada sesuatu yang mengganjal di pikiranku. Sebelum sempat masuk ke dalam lift, aku mengingat-ingat apakah ada yang hal yang terlupakan atau tertinggal sebelum aku berangkat ke kantor pagi ini. Namun karena terlalu malas untuk berpikir lebih, aku bergegas masuk ke dalam lift. Akan aku ingat-ingat lagi nanti, begitu pikirku.

"Pagi, La.." sapaku kepada Lula, teman sekantorku yang memikili julukan early bird karena kebiasaanya menjadi orang pertama yang sampai di kantor.

"Pagi, Ra.. Gimana filmnya kemaren?" balas Lula santai.

"Eh kok lo tau? Gue bilang lo emang ya kalo gue mau nonton?" tanyaku heran.

"Si Retno itu yang ngasih tau gue, dia cerita sama gue di Whatsapp katanya abis nonton sama lo tapi ceritanya aneh masa dokter jadi superhero" jabar Lula.

"Hih dasar emang si Retno, didepan gue aja bilang bagus ternyata dibelakang.." gumamku kesal.

Kekesalanku kepada Retno tak mampu menghilangkan rasa janggal yang sejak tadi aku rasakan. Aku ingat-ingat lagi dan lagi sebelum tiba-tiba terdengar suara yang familiar untuk telingaku.

"Ra.. Ra!!! Lo harus tau!!" teriak Retno yang tiba-tiba mendatangiku dengan tergesa-gesa.

"Apaan dah lo dateng-dateng rusuh aja kaget gue" balasku kesal.

"Ini liat liat liat!!!" jawab Retno sambil menyodorkan handphone yang ada di tangannya ke depan wajahku.

"Iya ini udah liat kenapa emang? Dia siapa aja gue gatau" jawabku lagi dengan sedikit ketus.

"Ini si Genta yang kemarin kita ketemu di bioskop! Gila ga sih ini dia....." jawab Retno menjelaskan pertanyaanku namun terpotong karena ingatanku yang mulai sadar tentang kejanggalan tadi pagi.

"OIYA! Wah parah gue mesti balik ini mah ya Tuhan parah parah kok bisa lupa sih gue. Bentar deh ya No, gawat pokonya gawat gue mau balik rumah bentar" kataku sambil terburu-buru membawa dompet dan telepon genggam bersiap kembali ke rumah.

"Ih ngeselin banget emang ni anak ya. Huh!" ucap Retno yang kesal.

Dengan tergesa-gesa aku turun dari lantai 17 di gedung kantorku. Aku heran, kenapa situasi terasa tidak mendukung ketika kita sedang dalam situasi mendesak? Lift yang sedari tadi aku tekan berkali-kali sepersekian detik tidak juga membuka daun pintunya. Aku harus segera sampai rumah dan membawa proposal untuk presentasi promosi hari ini. Entah sudah berapa kali aku mengutuk diriku sendiri sambil memukul-mukul pelan kepalaku karena kebodohanku hari ini. Kebodohan yang dapat berujung fatal karena bisa saja aku dipecat karena masalah ini. Sungguh, aku belum siap untuk menjadi pengangguran.

Akhirnya lift pun terbuka, aku segera masuk kedalam lift dan segera menekan tombol LG. Sebelum sempat aku menekan tombol untuk menutup liftnya tiba-tiba ada seseorang yang mencegah lift itu untuk menutup.

A Gift From HeavenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang