Ketika seseorang mati ...
ke mana jiwanya pergi?
Kabar kematian Dicky datang di hari cerah biasa. Aku sedang berdiri di halte bus, menjejalkan kedua tangan di saku sweterku, dan menengok sesering mungkin ke arah dia akan datang, layaknya di hari-hari sekolah biasanya.
"Rim, Dicky meninggal."
Hal pertama yang ingin kulakukan adalah meneriaki si penelepon bahwa dia gila dan sebaiknya dia tidak bermain-main denganku. Tetapi, yang menelepon adalah ibu Dicky, wanita baik hati yang memperlakukanku seperti putranya sendiri.
"Ada cairan pemutih pakaian di mejanya, di dalam kamar. Ditaruh dalam gelas. Dia meminum cairan itu, Rim."
Lalu aku berpikir, jadi, Dicky yang gila? Atau mungkin diriku sendiri, yang ingin berteriak dan menjambak rambutku dan merubuhkan halte lalu memaki semua orang yang ada di sana?
Mungkin, kehidupan-lah yang gila.
Yah, lebih mudah menyalahkan sesuatu selain diri sendiri. Dibanding orang lain, menyalahkan kehidupan jauh lebih mudah. Sebab, kehidupan tidak akan balas menyalahkanku.
Busku tiba. Orang-orang di halte bergegas naik. Aku membeku di tempatku. Bus meninggalkanku. Tidak masalah. Aku selalu ditinggalkan.
Aku berlari ke arah sebaliknya. Tubuhku terasa melayang ketika aku berlari sambil menyeka mataku. Seolah-olah tubuhku terbuat dari sebongkah jeli raksasa. Aku berhenti sejenak untuk mengirim pesan kepada teman-temanku.
Ke rumah Dicky sekarang!
Rumah Dicky dikunjungi para tetangga. Sebagian besarnya ikut menangis bersama ibunya. Begitu tiba di ruang keluarga, aku melihat Safira meringkuk di pangkuan ibunya, membelakangiku. Ibu Dicky menatapku dan mengulurkan tangan. Aku mendekat, meraih tangannya, lalu duduk di sisinya. Kusandarkan kepalaku di pundaknya, dan kami menangis bersama. Tanpa suara.
Begitu Dicky pergi, aku akhirnya sadar, kalau yang selama ini membuat rumah itu terasa ramai, memang hanya dia. Safira, adik perempuannya, adalah gadis yang pendiam. Bahkan saat tertawa, dia tidak mengeluakan suara sama sekali.
Setelah kuingat-ingat lagi, semua suara yang pernah kudengar dari rumah itu adalah suara Dicky: yang tertawa terbahak-bahak. Yang berbicara dengan cepat dan bersemangat. Yang berteriak kepadaku. Yang mengadu kepada ibunya bahwa aku disapa lebih banyak gadis di sekolah dibanding dirinya, sekalipun dia menulis lebih banyak lagu untuk grup kami daripada aku. Sesekali, ada suara suara ibunya juga: yang mengajak kami makan atau meminta kami menghabiskan camilan apa pun yang dibawakannya ke kamar Dicky saat kami berkumpul di sana.
Sekarang, Dicky tak lebih dari selembar foto dalam pigura besar: tersenyum, dengan sorot jail di matanya, namun kali ini, diam total. Diam untuk selamanya.
Kusentuh lengan Safira yang kurus. Usianya tak lebih dari tiga belas tahun. Saat kuelus tangannya perlahan, dia terlonjak bangun, lalu duduk tegak di hadapanku. Matanya sembab dan keruh oleh jejak air mata. Aku mencoba memikirkan kata-kata yang bagus untuk disampaikan padanya, tapi tidak ada yang terpikirkan olehku. Sebab, tidak ada kata-kata yang akan terdengar bagus untuk diucapkan pada adik teman baikmu yang baru saja mati bunuh diri. Tetapi, harus ada yang diucapkan. Ruangan ini sudah diisi keheningan sejak tadi. Dan aku baru tahu, kalau keheningan bisa semengerikan ini. Jadi, aku kembali memikirkan kata-kata yang sebaiknya kuucapkan pada Safira.
Safira sedang menatapku. Menunggu. Matanya merah dan bengkak. Kuulurkan tangan ke arahnya dan menyeka air matanya dengan ibu jariku.
"Sekarang, Kak Rimba adalah pengganti Kak Dicky," kataku. "Oke?"
KAMU SEDANG MEMBACA
You're My Splendid Escape
Teen FictionKetika Dicky, sahabat Rimba, mengakhiri hidupnya, Rimba menghabiskan hampir sepanjang waktu untuk menyesali banyak hal sembari bertanya-tanya, adakah hal yang bisa dilakukannya untuk mengubah jalan cerita yang tragis itu. Sampai akhirnya, Maudy Arun...