6. Maudy

253 55 3
                                    

Anak laki-laki itu balas menatapku. Dia memiliki sepasang mata sayu yang lembut. Senyumnya sudah lama lenyap dari wajahnya yang kini mengeras.

Dia tampak sedang menungguku mengatakan sesuatu. Aku tidak tahu harus berkata apa. Sejujurnya, aku ingin mendengarkannya berbicara lebih banyak. Namun, aku sadar, dia sudah selesai.

buku itugagal menyelamatkan temanku.

Kalimat itu timbul tenggelam di benakku selagi keheningan melingkupi kami layaknya pusaran besar.

Sebuah komposisi piano bertempo lambat sedang mengalun dari pengeras suara toko buku. Dan aroma buku bercampur pengharum ruangan memenuhi udara di sekeliling kami.

“Mungkin teman kamu butuh buku yang jauh lebih hebat?” Aku mendengar suaraku terlontar dengan goyah dan ragu-ragu saat mengatakan itu. Sehingga kalimatku lebih terdengar seperti pertanyaan ketimbang pernyataan.

“Jadi, kamu setuju kalau buku Sebastian Narendra tidak sehebat itu?” jawabnya. Sebelah alisnya terangkat, dan dia tampak seolah merasa terusik dengan kalimatku sebelumnya. Mungkin itu disebabkan aku baru saja menyebut-nyebut temannya. Tapi seharusnya itu bukan masalah, mengingat, dialah yang mengungkapkannya lebih dulu. Dan sebenarnya, aku ingin membalasnya dengan mengatakan, dia tidak boleh membalas pertanyaan orang lain dengan pertanyaan juga. Tapi aku rasa, konteksnya tidak cocok. Karena kalimatku yang sebelumnya, sebenarnya sebuah pernyataan, atau bisa juga disebut, sebuah "Pertanyaan Prematur".

Tanpa sadar, aku menganggukkan kepala. Sebelum ini, aku selalu yakin, buku “Life is Beautiful. Live It!“ adalah buku yang hebat. Bukan saja dari segi cita-cita, melainkan juga dampaknya. Tetapi fakta bahwa Dicky Escape Gravity ternyata pernah membacanya dan tidak terpengaruh, mau tidak mau, mempengaruhi pandanganku saat ini. Dan aku siap jika harus mengungkapkannya pada Rimba.

Aku memikirkan beberapa kemungkinan mengenai hal itu. Satu, Dicky tidak membacanya. Dua, dia membacanya, tetapi menolak terpengaruh. Tiga, buku itu memang tidak memberi efek apa-apa untuknya.

“Kamu enggak pengin meyakinkan aku dengan testimoni pribadi soal buku itu?” tanyanya, seolah ingin aku mendebatnya. Tampaknya, dia mengira aku sudah terselamatkan oleh buku itu.

“Pengalaman membaca adalah pengalaman yang sangat pribadi,” jelasku. “Sangat mustahil efeknya akan seragam untuk setiap orang. Temanmu bukan aku. Dan aku enggak bisa memaksa temanmu untuk sepakat dengan aku. Bahkan Sebastian Narendra enggak boleh memaksa siapa-siapa agar menuruti pendapatnya.”

“Jadi, menurutmu, seseorang harus hidup karena keinginannya? Jadi, dia boleh mati selama dia menginginkannya?” Rimba memasukkan kedua tangan ke saku jaketnya. Wajahnya menjadi lebih serius, meski matanya yang sayu tidak menunjukkan emosi apa-apa.

Aku sadar, aku harus hati-hati memilih kata-kataku. Aku tidak memahami situasi yang dialaminya. Aku tidak punya teman yang hebat yang baru saja menenggak cairan pemutih pakaian. Aku tidak paham rasanya.

“Maksudku, bahkan seseorang yang merasa sangat ingin hidup bisa mati begitu saja. Seseorang mati karena sudah saatnya untuk mati. Bukan karena dia menginginkannya.”

Rimba menjatuhkan kepala ke samping, menatapku dengan tatapan yang mirip kelegaan sekaligus rasa tidak percaya. Dan itu membuatku khawatir, kalau-kalau aku sudah salah bicara. Tapi kemudian, aku melihat bibirnya terbuka seolah hendak mengatakan sesuatu, namun tidak jadi. Seakan kata-katanya menguap begitu saja, atau beterbangan dan melarikan diri ketika dia ingin menangkapnya.

Di luar dugaanku, dia menyunggingkan senyuman lebar. Jenis senyuman letih yang membuatku ingin menepuk punggungnya sembari mengucapkan hal-hal menenangkan. Aneh sekali. Kami bahkan baru bertemu. Dia bahkan tidak mengetahui namaku. Aku bahkan hanya melihatnya di Youtube.

You're My Splendid EscapeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang