3. Rimba

332 70 8
                                    

Begitu membuka mata, aku menarik gorden yang bisa kujangkau dari tempatku berbaring. Sinar matahari jatuh tepat ke mataku sehingga aku memejamkan mata dan menghalau silau dengan sebelah tangan. Lalu tiba-tiba saja aku teringat, kalau hari ini ibuku berulang tahun.

Sehari setelah Dicky pergi, ibuku menelepon. Dia hampir tidak pernah menelepon. Aku hampir menganggap itu sebagai hikmah kematian Dicky-tapi aku tidak ingin mengkhianati Dicky gara-gara berpikir begitu, jadi aku membuang gagasan itu jauh-jauh. Yah, aku senang ibuku menelepon. Aku menyukai suaranya yang lembut dan menenangkan-seperti sebatang pohon yang ditiup angin di hari yang panas dan gerah. Kami tidak berbicara banyak. Ibuku hanya mengajukan beberapa pertanyaan, seperti misalnya, apa aku baik-baik saja. Kubilang, aku tidak baik-baik saja. Kubilang juga, bahwa mengetahui Dicky sudah tidak ada, rasanya seperti ingin mati saja. Ibuku bilang, aku tidak boleh berbicara begitu. Jadi, aku berhenti. Dia kemudian bertanya, apa aku punya pacar. Kubilang, tak ada pacar karena aku sibuk menulis lagu dengan teman-temanku. Dan setelah Dicky meninggal, kupikir, aku akan sibuk berduka sehingga tidak akan sempat naksir siapa-siapa. Kudengar ibuku tertawa di seberang telepon. Aku ikut tertawa, padahal aku sedang menangis.

"Kalau kamu butuh sesuatu, bilang sama Mama," katanya.

"Rimba ingin pindah sekolah."

"Kapan?"

"Belum tahu."

"Mau pindah ke mana?"

"Belum tahu juga."

"Nanti, kalau sudah pasti mau pindah ke mana, bilang saja. Mama akan mengurus semuanya. Oke?"

"Oke."

Ibuku kemudian bilang, dia baru saja menonton film yang bagus, dan dia ingin menontonnya bersamaku, kapan-kapan. Aku menyetujuinya. Lalu, begitu saja. Kami terdiam, saling mendengarkan deru napas satu sama lain, sampai ibuku berpamitan dan kudengar teleponnya ditutup. Aku lupa bilang padanya, aku akan tampil di festival musik minggu ini, dan aku ingin dia datang untuk melihatku. Tapi teleponnya sudah terlanjur ditutup. Jika aku menelepon sekali lagi, yang mengangkat pasti asisten rumah tangga di rumah suaminya.

Ada satu hal yang selalu ingin kukatakan pada ibuku tapi tidak berani. Bahwa aku merindukannya setiap hari. Bahwa aku ingin tinggal dengannya lagi, meski satu hari saja. Hanya kami berdua. Tidak ada Ayah. Tidak ada suami ibuku. Tidak ada anak-anak barunya. Benar-benar hanya kami berdua. Mungkin aku akan mengatakannya kapan-kapan. Mungkin saat kami menonton film bagus itu bersama-sama.

Aku beringsut turun dari tempat tidur dan menatap kalender. Ini hari ke-6 kematian Dicky. Dan liburan semester dimulai hari ini. Dicky benar-benar pintar memilih hari yang buruk untuk pergi. Memikirkan hal ini membuatku kesal. Seharusnya dia bisa merencanakan kepergiannya setelah libruan selesai. Dia sendiri yang bilang, anak muda harus tahu caranya bersenang-senang. Setidaknya, dia bisa menunggu sampai kami memenangkan festival musik pelajar besok.

Selama enam hari belakangan, aku mencoba menghindari wartawan-wartawan pemula yang menginginkan agar pesan kematian Dicky untukku dipublikasikan. Aku bahkan tidak menunjukkannya kepada penyidik kepolisian. Aku juga menghindari segala jenis kerumunan. Terutama, kerumunan orang-orang yang mengenalku. Sebab mereka tahu aku sahabat terdekat Dicky, sementara aku tidak ingin menerima ucapan belasungkawa dari siapa pun. Kupikir, menerima ucapan belasungkawa dari orang lain itu hanya membuang-buang waktu saja. Biar kuberitahu, jika seseorang bilang padamu kalau dia turut menyesal atas kemalangan yang menimpamu, yang sebenarnya sedang dikatakannya adalah, "Aku bersyukur, itu tidak terjadi padaku." Orang-orang tidak akan pernah memahami kemalangan siapa-siapa, sampai mereka mengalaminya sendiri. Sayangnya, kemalangan adalah milik pribadi yang tidak bisa ditukar-tukar agar orang-orang bisa saling bertukar rasa maklum.

You're My Splendid EscapeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang