5. Rimba

218 63 8
                                    

Kupandangi buku-buku Sebastian Narendra yang berjajar rapi di rak buku dengan penjualan terbaik. Untuk sesaat, kupikir, aku mendengar buku-buku itu mengolok-olok diriku.

Apa aku sudah salah memilih buku? Apa sebaikya aku memilih buku lain untuk kuberikan pada Dicky? Ada beberapa buku bagus yang direkomendasikan para blogger buku untuk orang-orang depresi. Kalau aku memberikan buku yang tepat pada Dicky … apa situasinya akan berbeda?

Kuputuskan untuk pindah ke rak lain karena sebenarnya aku tidak punya urusan lagi dengan buku-buku Sebastian Narendra. Saat aku berbalik untuk pergi dari sana, tiba-tiba saja aku berdiri berhadap-hadapan dengan seorang gadis.

Jarak kami teramat dekat sehingga aku refleks berjengit. Kepala gadis itu berada tepat di bawah daguku dan aku bisa mendengar suara napasnya yang tertahan.

Dia tampak sama terkejutnya denganku. Selama beberapa saat, dia mengamatiku dan entah bagaimana, aku merasa dia mengetahui siapa aku.

Apa dia mengenalku? Apa dia juga mendengar tentang Dicky? Apa dia tahu kalau aku dan Dicky berteman?

Matanya mengerjap. Sekali. Dua kali. Berkali-kali. Bola matanya membesar. Matanya jernih dan untuk sesaat, sorotnya tampak seperti sepasang mata anak kecil. Anak-anak rambut jatuh ke dahinya. Aku ingin memalingkan wajah tapi tidak bisa. Jadi, aku tersenyum.

“Maaf, sudah bikin kamu kaget,” kataku, setelah beberapa detik sebelumnya memikirkan dengan apa sebaiknya aku menyapanya. Apa sebaiknya aku menggunakan ‘lo’ atau ‘Mbak’. “Aku nggak tahu kalau ada orang.”

Dia tidak merespon, jadi aku menambahkan. “Aku nggak punya sensor untuk mendeteksi keberadaan orang lain dalam radius kurang dari tiga puluh sentimeter.”

Gadis itu mengerutkan alis. Matanya yang jernih tiba-tiba tampak berbinar. Mungkin itu hanya persepsiku saja. Persepsiku seringkali keliru. Tapi aku senang dia akhirnya tersenyum. Jenis senyum yang murni. Senyuman seorang anak kecil yang baru saja diberi permen kapas yang masih hangat dan harum.

Aku buru-buru menambahkan, “Ehm, bukan berarti, kalau jaraknya kurang dari itu atau lebih dari itu, radarku bakal menyala.”

“Jadi, kapan radarmu bakal menyala?” tanyanya.

Itu membuatku terkejut. Tidak menyangka dia akan menanggapi leluconku yang norak. Sorot matanya melembut dan jauh lebih ramah. Dia tampak jauh lebih santai dibanding beberapa saat lalu. Lebih santai, tetapi tampak canggung.

“Kayaknya enggak bakal menyala, deh. Soalnya, aku enggak punya radar atau sensor apalah itu namanya.”

Dia tertawa. Aku juga tertawa. Aku tidak tahu kenapa aku harus tertawa bersama orang asing di depan rak yang memajang buku Sebastian Narendra. Tapi tiba-tiba saja aku didorong oleh keinginan untuk terus berbicara. Mungkin karena gadis itu terlihat sedih. Mungkin karena wajahnya sangat pucat. Mungkin juga, kerena dia sedang berdiri di depan rak buku yang memajang buku Sebastian Narendra. Kupikir, sejak kematian Dicky, aku praktis memiliki hubungan tertentu dengan hal-hal yang berkaitan dengan Sebastian Narendra.

“Aku juga minta maaf, karena enggak lihat-lihat,” katanya, setelah tawanya reda.

Gadis itu menjauh dariku dan membuat jarak yang cukup di antara kami sehingga tanpa sadar, aku mengembuskan napas dengan lega.
Dengan kikuk, gadis itu melirik ke arah rak buku lalu dengan gerakan cepat, mengambil buku Sebastian Narendra. Itu buku yang sama dengan yang pernah kuberikan pada Dicky sehingga aku tidak bisa menahan diri untuk tidak berkomentar.

“Kamu yakin mau beli buku itu?”
Gadis itu memiringkan kepala, menatapku dengan matanya yang setengah sembab tetapi teramat jernih.

Apa dia habis menangis? Saat menatapku seperti itu, apa yang ada di pikirannya?

You're My Splendid EscapeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang