Liburan semester resmi dimulai. Di hari-hari normal, aku akan bangun di pagi hari dan meneriakkan "Yeaay! Selamat libur, Maudyy!" sampai Papa bisa mendengar suaraku dari dapur. Tapi ini bukan hari normal. Aku sedang mengalami hari-hari patah hati, jadi aku bangun siang dan tidak mengucapkan apa-apa.
Apa Samudra tidak merindukan hari-hari liburan yang biasanya akan kami habiskan dengan menonton film di kamarku sampai kami kelaparan dan mengantuk?
Pasti enggak, kataku pada diri sendiri. Samudra pasti sudah bangun sejak pagi dan panik karena tidak tahu mau pakai baju apa. Soalnya, hari ini dia akan mengajak Risa pergi ke tempat makan yang enak. Ke tempat-tempat yang bagus untuk berfoto. Lalu menonton sesuatu yang romantis di bioskop.
Dari mana aku tahu Samudra akan melakukan itu semua? Tidak dari mana-mana. Aku tahu begitu saja. Aku sudah mengenal Samudra di sepanjang hidupku. Ibu kami bersahabat sejak SMA. Mereka masuk ke universitas yang sama dan terus bersahabat. Setelah menikah, mereka sepakat untuk menjadi tetangga agar bisa saling memperhatikan sampai tua. Mereka menikah di waktu yang berdekatan dan mengandung aku serta Samudra di waktu yang selangnya begitu dekat. Aku lahir dua bulan dua minggu 3 hari lebih dulu dibanding Samudra. Karena itulah aku dan Samudra, bisa dibilang, sudah bersahabat sejak bayi. Sayangnya, ibuku pergi menghadap Tuhan lebih dulu. Sementara itu, ibu Samudra menepati janjinya untuk tidak ke mana-mana, agar bisa terus berada di dekatku dan bisa menggantikan Papa memasak untukku jika ia sedang sibuk bekerja. Aku mengenal Samudra sebaik dia mengenalku. Tidak, tidak. kelihatannya, hanya aku saja yang mengenalnya dengan baik. Kalau dia juga mengenalku dengan baik, dia tidak akan berpacaran dengan Risa karena itu membuatku sedih.
Apa Samudra akan mengajak Risa menonton konser musik band indie favoritnya? Apa Risa akan suka band favorit Samudra? Apa ada orang lain yang bisa menyukai hal-hal yang disukai Samudra sebanyak aku?
Kenapa sih, aku harus memikirkan semua hal konyol itu?
Aku menyeka sudut mataku yang berair. Perutku bergolak setiap kali aku teringat Samudra. Dan setiap kali membayangkan dia tertawa bersama Risa, sengatan tak kasatmata pecah di dalam diriku, seperti ombak tapi lebih tajam. Memusar seperti badai yang tidak bisa kujelaskan.
Angin menyelinap dari jendela kamarku yang terbuka, mengembus gorden jendela hingga berkibar perlahan. Mungkin hanya perasaanku saja, tapi nuansa liburan memang mengirimkan angin yang lebih sejuk dibanding hari-hari sekolah.
Aku menggeliat di tempat tidurku, merasa tidak ingin melakukan apa-apa.
Patah hati memang membuat orang-orang sangat jatuh cinta pada tempat tidur mereka dan hanya ingin berbaring lama-lama, menangisi kebodohannya sambil mendengarkan lagu-lagu sedih, kataku pada diri sendiri. Tapi aku tidak mendengarkan lagu apa pun. Ehm, sebenarnya, tidak tepat seperti itu juga karena aku mendengarkan lagu-lagu Escape Gravity (sejak Brian memperdengarkan lagu Escape Gravity pada kami, aku mendengarkan Escape Gravity setiap hari. Rasanya, aku sudah resmi menjadi penggemar baru mereka). Tapi itu tidak masuk hitungan, karena lagu-lagu Escape Gravity bukan jenis lagu yang normalnya akan didengarkan orang-orang patah hati. Orang patah hati cenderung akan memilih lagu yang bisa memprovokasi mereka untuk menangis sampai kepala mereka sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
You're My Splendid Escape
Teen FictionKetika Dicky, sahabat Rimba, mengakhiri hidupnya, Rimba menghabiskan hampir sepanjang waktu untuk menyesali banyak hal sembari bertanya-tanya, adakah hal yang bisa dilakukannya untuk mengubah jalan cerita yang tragis itu. Sampai akhirnya, Maudy Arun...