Kalau libur tiba, biasanya aku dan Ino pulang bersama. Kami yang berasal dari daerah yang sama, serta teman seperjuangan di perantauan membuat kami tidak berpikir dua kali kalau harus pulang bersama.
Perkuliahan sudah selesai dan saat ini kami sedang di stasiun menunggu kereta tiba.
"Lo tau John Goddard nggak?" Ino memulai percakapan dan aku menggelengkan kepala sebagai respon.
"Siapa?"
"John Goddard. Dia antropologis dan petualang gitu."
"Terus?"
"Waktu umur 15 tahun, Goddard ini nulis 127 mimpinya. Hebatnya, dia berhasil mencapai hampir semuanya itu."
Mataku membulat ketika mendengarnya. "Serius?"
Ino mengangguk. "Lo coba cari aja tentang dia. Keliatannya kayak nggak mungkin banget, ya? Tapi itu beneran."
Kepalaku mengangguk-angguk. "Terus kenapa lo tiba-tiba ngomongin dia?"
Ino mengeluarkan tawanya. "Lo pernah bikin kayak dia nggak?"
"Semacam bucket list gitu?"
Ino mengangguk.
"Pernah," jawabku. Kemudian Ino semakin menatapku dengan penuh minat.
"Ada yang udah tercapai?"
Aku mencoba mengingat-ingat daftar yang kutulis, kemudian kepalaku mengangguk.
"Apaan?"
"Ya pokoknya ada."
Ino mencibir. "Gue juga ada yang udah tercapai. Tapi ada satu yang belum tercapai sampai sekarang. Padahal gue pengen banget yang satu ini tercapai."
"Apa?"
"Liat lo punya pacar."
"Hah?"
Kepala Ino mengangguk dan tangannya mendorong kepalaku pelan. "Biasa aja ekspresinya,"
"Ya... abisnya aneh?"
"Enggak aneh," Ino menggelengkan kepala. "Apa yang aneh dari doain kebahagiaan sahabat sendiri?"
Senyumku mengembang perlahan. "Tapi bahagia kan nggak harus punya pacar?"
"Tapi gue pengennya lo punya pacar," sahut Ino.
"Kenapa lo maksa? Gue bilang bahagia bukan cuma punya pacar."
"Terus bahagia versi lo apaan dong?"
Aku memilih untuk tidak menjawabnya secara lisan. Namun aku menjawabnya itu dengan lancar di dalam hati.
Bahagia versiku? Melihat Ino sehat dan bahagia, mungkin itu cukup buatku.
KAMU SEDANG MEMBACA
To Him
General FictionI have something to tell you. But, I think I can't tell you.