Materi ulangan untuk besok cukup membuat pening. Jika guru perempuan itu bisa lebih serius lagi saat mengajar, mungkin salah satu muridnya yang paling bebal itu, akan mudah memahami materi yang ia sampaikan. Ia tidak akan memainkan smartphone saat belajar, jika sang guru tidak melulu bercerita tentang kehidupan pribadinya. Meskipun bagi siswa lain, curhatannya datang bagai angin sejuk yang menyapu bersih kejenuhan.
Gadis berkaus putih itu mengerjakan soal latihan dari catatannya yang kurang lengkap. Sesekali ia menatap ponselnya resah. Sejak masuk SMA, ia jarang sekali membuka buku kecuali di sekolah. Kehidupan remaja itu disibukan oleh ponsel pintar, menggambar, membaca komik, membuka berita fesyen, atau chating dengan orang luar negri.
Ciara menghempas pensil 2B yang sedari tadi dimainkannya, saat berpikir menjalankan rumus-rumus di buku. Setelah mempelajari seperempat dari materi yang diberikan Bu Selvi, ia memilih istirahat sejenak. Membuka ponselnya yang kebetulan mendapat sebuah pesan masuk dari WhatsApp-nya. Pesan itu berasal dari Nick. Laki-laki yang mengirim pesan padanya tadi siang.
[Hi dear! Have you eat?]
[Udah, Bang. Chatnya bahasa inggris terus. Mentang-mentang di USA. :p]
[Haha. Sukur deh kalo udah makan. Lup yu my lil sista :*]
Ciara menutup whatsApp-nya tanpa membalas pesan Nick. Ia tahu, lelaki itu tidak perlu menerima pesan balasan dari adiknya, jika sudah tahu kabar Ciara.
Ada notifikasi dari facebook yang membuatnya terus bertahan memegang ponsel pintar. Tidak terlalu penting, pemberitahuan itu. Tapi ia ingin mengusir jenuh, dan membukanya. Seseorang sudah mengonfirmasi pertemanan yang diajukan Ciara. Ia membuka profil teman barunya itu.
Putra Hadi Permana. Anak laki-laki yang lahir pada 20 November enam belas tahun silam. Dari foto-foto yang Ciara lihat, semua begitu membosankan. Foto-foto petikan kata mutira dari ilmuwan, foto tentang kejuaraan yang ia raih, kesehatan, dan beberapa pemandangan alam yang sedikit menarik perhatian Ciara. Lalu ia membuka foto profil, sekedar menuntaskan penasaran yang menyergap pikiran. Bahwa lelaki itu pasti memiliki foto tanpa wajah datar atau senyuman terpakasa.
"Boleh juga," gumamnya menatap potrer laki-laki berkaus biru langit yang melompat tinggi di tengah padang rumput.
Foto selanjutnya, anak lelaki tengah tersenyum manis dengan latar belakang pohon-pohon besar. Lelaki itu terlihat berkarisma, mengenakan kemeja hitam bermotif kotak. Di keterangan foto tertulis, 'Someday when I miss you'. Pohon selalu mengingatkan Ciara pada bangunan kecil di halaman belakang. Rumah pohon yang dihiasi bintang dan pesawat kertas buatan Nick, kakaknya. Saat kecil, mereka selalu bermain di sana. Sekarang, Nick berada jauh darinya. Sejak kuliah di sana, ia tidak pernah lagi menemui Ciara. Gadis itu sangat merindukan Nick. Mereka hanya dapat mengobrol lewat sosial media.
"Kalo mukanya ga sok, cool, dia lumayan," gumam Ciara
Satu tanda hati meluncur sebagai tanggapan untuk foto yang dilihatnya.
Notifikasi dari messenger kembali menggetarkan ponselnya yang baru saja disimpan. Nama Reza Armani terpampang di layar ponsel yang masih perlu gesekan jari ke arah kanan agar terbuka dari pengunci otomatis. Setelah membaca pesan Itu, ia segera menyingkap tirai. Tampak Reza tengah berdiri di balkon kamarnya, menghadap ke kamar Ciara. Ciara kembali memainkan jempolnya di layar handphone.
[Malam-malam gini, ngapain lo diem di situ?]
[Cari angin]
Memintanya membuka jendela hanya untuk melihat Reza tercenung di balkon, cukup membuat gadis itu tersenyum sendiri. Mungkin, dia butuh teman ngobrol, pikirnya. Ciara melempar senyum pada Reza. Matanya tak henti mengawasi lelaki itu, seolah menatap pemandangan indah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sure I Love You
Teen FictionJangan pernah ngetuk pintu hati seseorang kalau lo gak niat masuk ke sana. Sekali lo singgah di hati, jangan pernah numbuhin harapan lo bakal tinggal di sana, kalo masih ragu untuk menetap. Kalo lo yakin, cintai. Kalo enggak, ya jangan main-main. Ci...