Malam itu ia sudah berjanji pada Putra. Ia tidak akan membuka akun sosial media sebelum selesai belajar. Ciara juga menyingkirkan alat-alat gambar, cat kuku, pilok rambut, aksesoris tidak penting, make up, serta majalah fashoin-nya dari meja. Ia harus fokus agar dapat memperbaiki nilai-nilai ulangannya yang rendah. Tidak akan ada yang bisa menghubunginya kecuali Putra. Ia jamin itu.
Sesekali gadis itu menatap sketsa bajunya yang menempel di dinding. Ia lekas mengalihkan lagi pandangannya ke buku matematika yang selalu membuatnya pening. Pikirannya jadi terbagi-bagi. Sebagian dimiliki teman-teman chatnya, sebagian di kuasai matematika, dan sebagian dimiliki desain baju yang ingin segera dibuat menjadi sketsa. Gue harus fokus.
Ciara merapikan semua pensil gambar, sketch book, juga beberapa sketsa fashion yang menempel di dinding. Ia lekas keluar dengan tumpukan barang yang harus segera dimusnahkan itu. Sebenarnya ia sangat berat mengeliminasi barang-barang itu dari daftar koleksinya, seluruhnya hampir didominasi status barang pemberian Reza. Tapi perkataan Putra benar. Saat ini tugasnya hanya fokus belajar, bukan memikirkan hal yang diluar tugasnya sebagai pelajar.
"Ciara, mau diapakan barang-barang itu?" Risa menghentikan langkah Ciara ke tempat pembuangan.
"Mau dibuang, Kak. Udah enggak penting lagi."
"Yakin? Ini masa depan kamu lho." Risa mengambil salah satu sketch book di tangan Ciara.
"Aku mau fokus dulu sama bejar, Kak. Lagipula, Tante Lena enggak setuju aku jadi desainer. Beliau cuma mau aku jadi dokter, atau mungkin insinyur. Jadi, barang ini enggak penting lagi buat aku."
"Jangan dibuang! Biar Kakak simpan, ya. Siapa tahu ini bisa membantu."
"Silakan," kata Ciara menyerahkan benda-benda itu. Lalu kembali masuk ke kamarnya untuk melanjutkan belajar. Ia menghidupkan mode senyap pada ponselnya. nama Reza menghiasi layar ponsel itu.
***
Pukul tiga dini hari, Ciara sudah bangun dengan tubuh yang masih terasa kaku untuk digerakan. Dengan malas, ia melangkah menuju kamar mandi. Jika saja Putra tidak menelponnya, ia tidak mungkin bangun sepagi ini.
Ciara segera menghampiri Putra yang sudah menunggunya di halaman rumah. Langit masih gelap dan udara benar-benar dingin kala itu. Tanpa berbasa-basi, Putra menuntun Ciara, berjalan melewati rumah besar yang disewakan kusus pada lelaki. Dua remaja itu tidak melihat, ada seorang lelaki yang berdiri di ambang jendela kamar di lantai atas, tengah memerhatinya.
"Kita mau ke mana?" Ciara menaikan topi jaket birunya yang sepadan dengan kaus putih dan celana jeans biru yang ia kenakan.
"Nanti juga lo tahu."
"Dingin," gumam Ciara.
"Tahan."
Putra menghentikan langkanya di hadapan Pajero sport hitam yang terparkir di pinggiran jalan. Seorang lelaki paruh baya keluar dari mobil, dan membuka pintu bagian belakang.
Putra menyilakan Ciara naik lebih dulu. Setelah gadis itu duduk di deretan kursi ke dua, ia menutup pintu mobil, dan mengambil posisi duduk di samping pengendara. Gue kira dia bakal duduk di samping gue, batinya kesal.
Putra memutar musik klasik dari mp4 yang terpasang di mobil. Musik ciptaan mozart mengalun tenang di telinga Ciara. Matanya mulai terasa lengket dan sulit dibuka, mungkin karena ia bangun di waktu yang terlalu awal baginya. Juga karena alunan lagu klasik yang diputar Putra.
Perjalanan terasa singkat bagi Ciara, karena ia tertidur pulas di tempatnya. Ia baru tersadar saat dirinya sudah berada di tempat asing yang dikelilngi banyak pohon. Putra menoleh ke belakang, tanpa menutup buku yang sedang dibacanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sure I Love You
Teen FictionJangan pernah ngetuk pintu hati seseorang kalau lo gak niat masuk ke sana. Sekali lo singgah di hati, jangan pernah numbuhin harapan lo bakal tinggal di sana, kalo masih ragu untuk menetap. Kalo lo yakin, cintai. Kalo enggak, ya jangan main-main. Ci...