4

38 4 0
                                    


Ciara berjalan gontai di koridor kelas yang sudah sepi. Tadi, ia ketiduran di ruang UKS, saat berpura-pura sakit, karena menghindari pelajaran sosiologi yang selalu membuatnya jenuh. Gadis itu memasuki kelasnya untuk membawa tas. Tidak ada seorang pun di sana. Langkahnya terdengar jelas di ruang sepi itu. Ia hampir lupa mencabut kabel charger yang masih mengalirkan daya ke ponselnya. Ada dua pesan masuk. Dari Reza.

[Ra, sorry, gue pulang duluan. Tania maksa gue buat nganter dia ke toko buku. Sekalian nyari sketchbook yang lo butuhin buat desain lo.]

Ciara mendengus sebal. Sejak kapan Reza dekat dengan Tania? Mungkin sejak ulangan matematika kemarin. Hanya dua murid itu yang keluar kelas setelah ulangan. Mungkin selama menunggu teman yang lain selesai ulangan, mereka berdua mengobrol dan mulai akrab. Ia tahu, Reza adalah orang yang terbuka dan mudah bergaul, tetapi baru kali ini ia meniggalkan Ciara sendiri. Satu hal yang tidak ia mengerti, hatinya terasa linu, seperti ada yang mengeratnya kuat.

Pesan ke dua ia buka, dari Nela.

[Gue pulang duluan, ya! Oh iya. Bu Selvi nyuruh lo buat ke perpustakaan. Kalo enggak, nilai mtk lo, kosong.]

Gadis itu mendedis kesal, seakan belum habis kejengkelan yang menghapirinya hari itu. Ia yakin, guru itu masih memiliki dendam pribadi padanya, sebab kejadian beberapa hari lalu. Ia tergesa mendatangi tempat yang diminta Bu Selvi. Langit sudah tertutup awan kelam. Sekolah pun sudah sepi. Ciara berharap sang guru tidak terlalu lama menahannya di sana. Ia ingin segera pulang sebelum hujan turun.

Ciara menaruh tasnya di rak penitipan. Ruangan yang dimasukinya terasa hening dan sedikit muram. Mungkin karena ruangan itu masih mengandalkan cahaya luar yang menembus jendela-jendela raksasa di ruang berukuran 20x15 meter itu, dan langit sedang mendung.Mata coklatnya terus mencari sosok perempuan bertubuh ramping, dan bergelung. Guru bawel itu cantik, dan akan terlihat lebih menawan, ketika mengenakan kacamata berbingkai hitam. Ia sering melihat perempuan paruh baya itu membaca, menggunakan kacamata tersebut.

Yang dicari tidak ada. Ia hanya menemukan seorang siswa yang membaca di deretan meja yang menghadap ke jendela. Ciara tidak tahu bagaimana wajah pemilik tubuh tegap itu, karena si pembaca memunggunginya.

"Cari siapa, Dek?" Suara seorang lelaki memecah keheningan. Ciara menoleh dan menyungging senyum pada lelaki jangkung berkacamata itu.

"Saya mencari Bu Selvi, pak."

"Kamu Ciara, ya?" terka petugas perpustakaan itu.

"Iya."

"Oh, kebetulan, saya sudah menuggu kamu dari tadi," kata lelaki berkemeja biru itu. "Bu Selvi titip pesan, kata beliau, kamu harus membantu saya merapikan ruang ini."

Ciara membelalak kaget. Antara percaya atau tidak, karena tugas itu tidak ada sangkut pautnya dengan pelajaran matematika. Mungkin, itu balas dendam Bu Selvi terhadapnya, akibat bermain ponsel saat guru itu mengajar di kelasnya.

"Memangnya, Bu Selvi ke mana, pak?"

"Beliau pulang duluan, karena suaminya sakit," jawab lelaki bermata hazel itu. "Oh, ya. Kamu tidak perlu memanggil saya Bapak. Saya masih single." Lelaki itu menggulum senyum. Bibir tipisnya terlihat semakin tipis, dan dagunya semakin lancip.

"Oh," Ciara tersenyum hambar. Terus, mau lo, gue manggli lo apa? Mamang? Batin gadis itu.

"Panggil saja saya Kak Amir."

"Ok, Kak Amir," ucap Ciara sambil tersenyum, memintonkan deret giginya yang putih nan rapih.

Belia berambut cepol itu mengangguk pelan. Ia masih ragu mengerjakan perintah dari Bu Selvi. Lelaki yang terlihat berumur seperempat abad itu menatap Ciara dengan senyum tipis. Seolah tahu isi pikiran Ciara, ia menjelaskan alasan Bu Selvi memintanya merapikan perpustakaan. Beliau ingin muridnya itu mempunyai kesibukan selain chating. Ia sangat berharap gadis itu jadi gemar membaca.

Sure I Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang