Bismillahirahmanirahim
🍇🍇🍇Ruang sastra indonesia dihebohkan oleh kehadiran Sofi dalam versi islami. Sofi bukan hanya mengganti bawahannya menjadi rok, tapi kali ini, di kepala Sofi, ada sebuah kain yang menjuntai panjang hingga menutup dada dan punggung, Masya Allah. Inikah yang dinamakan hijrah?
Lija dan Echa membisu di tempat, mulut mereka terbuka setengah, pandangi Sofi dengan separuh khayal. Hanya Rayan yang berikan senyum, acungkan dua jempol sebagai tanda dukungan. Pikir Lija, apa Sofi sudah benar-benar diracuni oleh orang yang bernama Arsya-Arsya itu? Sampai-sampai, memakai jilbab yang tidak pernah terbesit di dalam pikiran Lija saja, bisa Sofi lakukan.
"Sof?" Panggilan yang bersinyal tanya.
Tanggapan Sofi, tarik garis bibir beberapa derajat. "Kenapa Ja?"
"Lo nggak salah?"
"Salah apanya?"
"Ini." Lija tunjuk sumber pertanyaan. "Nggak salah?"
"Iya gue juga nanya sama lo, salahnya di mana?"
"Sof. Lo tahu kan kita bertiga sering nongkrong. Kalau lo pakai jilbab udah nggak asyik lagi dong, gerak lo itu bakal terbatas."
Sofi gelengkan kepala. "Jadi lo nyalahin surat An-Nur ayat 31 yang jelas-jelas menerangkan soal jilbab? "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau Saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung."
Telinga Lija mendadak panas. Sofi sudah mirip ustazah sekarang. Sedikit-sedikit menyenggol surat dan hadits. Jujur, Lija rindu Sofi yang dulu. Sofi yang asyik, yang bisa diajak berbagi obrolan jenis apapun. Sekarang, semuanya bersekat. Ada prinsip berbeda yang jauh menghalat mereka.
Echa bagian menyimak. Ia juga tidak satu suara dengan Sofi, tapi Echa bukan orang yang keras kepala. Apalagi timbulkan ribut di ruangan. Ia paling cinta damai. Tidak suka dengan hal-hal berbau debat. Lebih baik diam, daripada ciptakan pertengkaran. Sangat kebalikan dengan Lija yang jika tidak setuju langsung angkat suara, kupas tuntas masalah yang mengganjali hatinya.
"Terserah lo deh Sof. Capek gue."
"Tolong Ja, hargai keputusan gue. Kita memang sahabat, tapi soal hidup, lo nggak bisa mengatur gue. Sama kayak lo yang juga nggak mau gue atur."
Lija kembali melirik Sofi. "Ya. Mulai hari ini hidup aja masing-masing. Gue dengan pilihan gue, dan lo, dengan pilihan lo sendiri."
Sofi tidak pernah menyepakati ucapan Lija. Dalam hati ia berdoa, semoga kedua sahabatnya bisa secepat mungkin dihadiahi hidayah. Kelak, Sofi ingin, persahabatan ini bukan hanya bersifat duniawi. Cekakak cekikik tidak jelas. Ia mau, mereka bersatu di surga, menjadi sahabat yang abadi, yang bisa saling tolong menolong menuju akhirat.
🍇🍇🍇
Serius, saking penasarannya Lija dengan sosok mas Arsya. Ia putuskan membaca part satu dari karya lelaki yang Sofi agung-agungkan. Siapa tahu, Lija menemukan alasan dibalik hijrahnya Sofi. Karena setahu Lija, Sofi bukan orang yang mudah terpengaruh. Pendiriannya kuat, tidak sembarangan telan mentah-mentah nasihat orang. Kalau Arsya bisa mengubah prinsip Sofi, artinya ada sesuatu menarik yang harus Lija kulik.
"Aka. Bunda bilang makan dulu." Sirine dari Keke memang paling menganggu aktivitas. Demi mengurangi intensitas Liana mengomel, Lija mengalah turuti permintaan.
Dan betapa senyum Liana mengembang ketika dilihatnya Lija turun dari arah tangga bersama Keke. Lengkaplah penduduk rumah isi meja makan. Lija hanya dua bersaudara. Sekali saja ia absen makan, Liana merasa kesepian karena hanya ada Keke dan suaminya, tidak ada suara cerewet Lija yang hiasi suasana jika sedang dilanda bosan.
"Nah gitu dong. Makan sama-sama. Baca wattpad terus nggak kenyang." Lija tanggapi dengan senyum singkat.
Lija bukan keluarga yang bisa dikatakan kaya. Juga, bukan keluarga dengan silsilah menyedihkan. Alhamdulillah mereka berkecukupan. Kalau sedang tanggal tua seperti sekarang, makanan yang tersedia di meja disesuaikan dengan kondisi keuangan. Hanya ayam goreng, tumis kangkung dan tempe goreng, sudah cukup membuat perut mereka kenyang. Liana bersyukur masih bisa melihat anak dan suaminya senyum ceria, lahap makanan dengan nikmat. Itu artinya, masakan Liana pas di lidah.
"Ayah."
"Ya?" Abdullah tipe ayah dan suami pendiam. Cerewetnya Lija adalah turunan Liana. Sedangkan si kecil Keke mewarisi kedua sifat orangtuanya. Kadang-kadang mendadak cerewet jika keinginannya belum dituruti, dan pendiam seperti ayahnya jika tidak ada bahan untuk dibicarakan.
"Lija mau beli buku Yah. Ada tugas resensi di kampus. Boleh ya, bagi uang Ayah sama Lija?" Rayuan paling sopan yang pernah Abdul dengar.
"Kalau soal rayu Ayah aja. Uh, manisnya ngalah-ngalahi waktu laper minta masakin bunda." Liana menimpali.
Abdul dan Lija kompak terkikik. "Ciye, Bunda. Gitu aja cemburu yaelah. Apa uang bulanan Bunda aja, yang Lija minta. Kan banyak tuh dari Ayah."
"Gigi kamu gendut! Uang bulanan dari Ayah itu dipakai buat belanja sehari-hari. Nih ayam goreng kamu kira belinya ngutang apa? Enak aja." Ya Allah, rumah Lija seceria itu kalau sudah diisi lawak receh Liana versus Lija.
"Nanti besok Ayah kasih ya." Abdul tengahi kedua wanitanya yang akan terus berdebat jika tidak dipotong.
"Makasih Yah." Lija memeluk Abdul sambil meleletkan lidah ke arah Liana.
"Bunda masih punya Keke nih. Ke, sini bunda peluk." Syukurnya si kecil Keke tidak patahkan situasi. Kalau saja Keke jahil, mungkin dia akan menolak dekapan Liana lalu berkubu dengan Lija dan Abdul.
🍇🍇🍇
Serius, dua part pertama Lija mulai dibuat hanyut oleh cerita Arsya. Keisengannya malah berujung dengan mata yang terjaga sampai di atas tengah malam. Celaka, kalau begini bisa-bisa, Lija akan mengikuti jejak Sofi. Namun, buru-buru ia menggeleng, kembalikan niat awal. Bahwa ia membaca sekadar mengulik alasan Sofi untuk hijrah. Sampai akhirnya, Lija merasa pantas berikan tanda bintang pada dua part cerita Arsya. Lalu notifikasi itu timbul di ponsel Sofi. Ia berharap, ini langkah awal Lija ikuti jejak.
Echa yang juga tidak sengaja melihat aktivitas Lija. Segera ia cari ponsel, kirimi Lija pesan berupa tanya-tanya penasaran.
Echa : Ja, lo ngapain vote cerita Arsya?
Lija : Cuma iseng. Gue pengen cari tahu apa yang menarik dari cerita dia.
Echa : Iya iseng kan nggak harus vote juga.
Lija : Habis gue baca, ternyata tulisan dia emang bagus.
Echa : Jangan bilang, lo mulai ketularan Sofi. Lo nggak jilat ludah lo sendirikan?
Oke, sampai di situ Lija mulai berpikir. Apa iya, ia mulai menabrak prinsip. Tetapi serius, seusaha apapun Lija menolak, nyatanya ia simpulkan bahwa cerita Arsya memang menarik. Dari mulai gaya bahasanya, cara dia membuat dialog, juga kemanisan seorang laki-laki salih yang tidak dimiliki cerita-cerita yang pernah ia baca, membuat Lija ingkar.
Demi menghargai Echa, Lija stop membaca cerita Arsya hanya sampai di part tiga. Ia tidak boleh memihak Sofi secepat ini. Walaupun ia akui, genre spiritual romance mulai menarik hatinya.
Dan yang lebih mengejutkannya lagi, ada sebuah pesan masuk di wattpad Lija.
Terima kasih sudah vote cerita saya. Semoga bermanfaat untuk kamu.
Wallahi, Lija tidak pernah dikirimi pesan oleh penulis-penulis yang ia baca, bukan hanya dibaca, tapi Lija setia berikan vote dan komen. Sekarang, seorang Arsya yang sudah terkenal, sempatkan sapa Lija lewat pesan wattpad hanya sebagai wujud syukurnya kepada pembaca. Lija mendadak kagum.
🍇🍇🍇
KAMU SEDANG MEMBACA
Memeluk Noda Tinta Berputih
SpiritualPublish pertama : 13 November 2018 Genre : Spiritual Romance 🍇🍇🍇 Sebelumnya, Halija tidak pernah berpikir bahwa jarinya yang iseng membuka kisah bergenre spiritual menghantarkan ia bertukar komunikasi dengan seorang Ikhwan. Halija yang fakir ilmu...