Bismillahirahmanirahim
🍇🍇🍇
Bunga kelamaan tidak disiram memang akan layu. Begitu juga dengan hati Arsya. Belum punya pendamping tetap saat usia semakin beranjak tua membuat khawatir banyak pihak. Terutama dari Arshila sang kakak yang memikirkan kebutuhan laki-laki dari lutut ke atas. Ia tidak buta kode, paham kalau Arsya perlu teman hidup yang bisa diajak ngobrol, berbagi kepahitan hidup, juga senang-senang bersama. Sementara Arsya sibuk dengan menulis dan mengajar. Menutup diri dari perempuan. Apa karena kejadian masa lalu yang membuat Arsya tidak ingin mengulang pola hidup yang sama, membangun lalu gagal?
"Sya, mau mbak kenalin sama teman mbak nggak? Dia salihah loh Sya, pakai jilbab syar'i, rajin salat, dan manis anaknya." Mendengar celotehan kakaknya, Arsya tetap lanjutkan makan. Baginya, itu hanya sekadar pengumuman tidak penting.
Tidak putus asa, Arshila kembali berdeskripsi. "Dia jomlo udah lama karena hijrah dan nggak mau pacaran lagi. Sekarang mau cari yang serius, kalau ada bisa lanjut ta'aruf."
"Makan dulu, La. Adikmu nggak tenang makannya kalau kamu sodorin perempuan terus." Ratih memotong. Paham raut wajah Arsya yang tunjukan gelisah, Ratih menengahi.
"Ibu ih. Nggak kasian apa sama dia, masa udah setua itu masih betah aja sendiri. Jangan bilang kamu nggak bisa ...."
"Shila! Tolong jangan ungkit itu di sini. Bikin selera makan ibu hilang aja." Kesalahan membahas memang berdampak buruk dalam keluarga ini. Lagipula kisah itu sudah dicoret beberapa tahun yang lalu. Lupakan semua, anggap tidak terjadi apa-apa. Ibarat air ia sudah ditumpahkan hanya tersisa tempat minumnya saja. Kosong, tak berisi.
Yang menjadi topik malah diam, membisu di tempatnya duduk. Menyenggol yang Shila bicarakan hanya kembali mengorek luka lama. Arsya sudah tidak peduli, kalaupun sampai detik ini statusnya belum bisa melebeli seorang perempuan menjadi kepemilikan atas dirinya. Itu bukan karena alasan klise masa lalu. Sebab, Arsya percaya jodoh datang di waktu yang Allah tentukan, lain di saat dia memaksa.
"Dulu aja ibu dukung." Arshila protes.
Ratih hela napas berat. Suasana mulai dilingkupi hawa-hawa perdebatan. "Mendukung Arsya lakukan kebaikan bukan yang lain."
"Apapun itu tetap namanya mendukung, Buuu." Ada akhiran panjang yang Shila berikan sebagai penekan kalimat.
"Kalau ibu tahu endingnya juga, ibu nggak bakal pernah setuju. Tapi apa semua orang tahu ending hidup ini, nggak ada yang tahu. Bahkan kamu saja nggak tahu bagaimana ending hidupmu, La." Arshila menutup mulut, mulai turunkan ego untuk mendebat. Topik ini memang selalu sensitif dan nyaris dibenci oleh Arsya.
"Mbak mau aku menikahi teman Mbak, tapi polanya kembali berulang?" Gelengan kepala.
"Sudah! Makan lagi, nggak usah bahas yang aneh-aneh."
Mungkin sebagai kakak maksud Shila baik, tetapi rancangannya untuk temukan Arsya dengan jodoh belum bisa diterima. Arsya bukan pria yang sekali disodori barang bagus akan langsung katakan ya. Butuh waktu berpikir, apa kalau dia setujui sudah menjadi keputusan yang benar. Perlu berdoa, salat tahajud dan minta petunjuk Allah. Tidak bisa main dekap target sebelum semua kriteria terpenuhi. Ada hal-hal yang harus Arsya pertimbangkan. Jika tidak ingin mengulang rute yang sama.
🍇🍇🍇
Makan malam berlangsung singkat. Lama-lama di meja makan membuat Shila semakin gencar membahas. Mungkin karena Shila yang paling menaruh dendam atas kejadian Arsya. Tidak terima hingga mengungkit kembali sebagai wujud protes. Jodohkan Arsya dengan orang lain sebagai tebusan rasa sakit. Juga hancurkan asumsi kalau Arsya menderita atas kejadian itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memeluk Noda Tinta Berputih
SpiritualPublish pertama : 13 November 2018 Genre : Spiritual Romance 🍇🍇🍇 Sebelumnya, Halija tidak pernah berpikir bahwa jarinya yang iseng membuka kisah bergenre spiritual menghantarkan ia bertukar komunikasi dengan seorang Ikhwan. Halija yang fakir ilmu...