[3]

916 32 0
                                    

Biasa kan terbiasa. Hidup memang begitu. Berat. Gak semua bisa berjalan sesuai keinginan kita. Kadang ya kita perlu percayakan semuanya pada Tuhan saja. -Ginesa A.

***


Clara Pov

Ok. Harus gue akui. Gue benar-benar udah jatuh cinta sama cowok yang barusan nganterin gue pulang. Sialan emang.

Entah apa di pikiran gue sekarang. Rasanya bahagia banget. Ya, walaupun Refan dinginnya kebangatan. Huu

Sampai sekarang ini gue masih berdiri ditempat yang sama sedangkan orang yang barusan nganterin gue udah gak kelihatan. Gue masih nunggu. Siapa tau dia balik lagi. Hehe..

Setelah tersadar dengan kelakuan gila gue baru deh gue balik ke dalam rumah sambil senyam senyum gak jelas. Persis orgiba (orang gila baru).

Gue sempat mengernyit. Baru nyadar ada dua mobil di garasi rumah gue. Mobil hitam punya Nyokap sama bokap. Kalo yang abu-abu gue gak tau. "Tamu papa kali ya"

Gue pun melangkah yakin kedalam rumah. Sampai didepan pintu gue di sambut Kak Rava dengan wajah yang—hm kok kayak khawatir gitu ya. Dan lagian bukannya si Rava tadi ada kelas kok sekarang dirumah. Awas aja kalo boong dia.

"Kok baru pulang sih" Omelnya. Raut wajah Rava tampak khawatir dan—ketakutan kayaknya.

"Udah dari tadi. Cuman baru masuk." Jawab gue jujur. "Emang kenapa sih? Lo kok kayak takut gitu."

"Ada—" ucapan Rava terpotong suara seorang wanita yang terdengar paruh.

"Baru pulang kamu!"

Deg. Aliran darah gue berasa cepat ngalirnya. Dada gue tiba-tiba deg-degan gak karuan.

Seketika gue ketakutan. Gue sadar. Kali ini gue dalam masalah.

"Sekolah kamu tidak mungkin memulangkan jam begini! Kemana saja kamu! Sudah mau jadi perempuan tidak benar?!"

Pedes amat ya Tuhan. Pengen nangis benaran.

"Oma tadi aku—"

"Ini yang diajarin Alea sama kamu? Tidak punya kedisiplinan?" Ucapan Oma terdengar sinis.

Dia Oma gue. Orang yang paling gue dan Kak Rava takutin dari kecil. Oma orang yang sangat taat pada aturan. Hidupnya selalu disiplin dan tegas. Oma bukan tipe orang yang bisa dibantah. Kalo Oma udah ngomong A bakalan A selamanya.

Oma punya sebuah perusahaan besar di Jakarta. Dia adalah salah satu pemberi investasi besar dikota itu. Oma adalah orang yang dikenal ramah, baik serta suka beramal kepada rakyat kecil. Pokoknya Oma itu dianggap sempurna. Meski pangkatnya ke gue Nenek. Tapi wajah Oma tidak bisa dibilang seorang Nenek. Nyatanya Wajahnya masih seperti wanita berumur 30-an.

Jika orang lain menilai Oma begitu. Maka gue dan Kak Rava beda. Oma buat kami itu Galak, ucapanya pedas, suka seenaknya serta gak bisa dibantah.

Hidup gue dan Rava diatur sama Oma. Kadang itu ngeselin. Karna itu buat gue dan Rava jadi gak bisa nentuin sendiri apa yang kita mau.

Oma selalu ngekang kami harus jadi ini dan itu. Mama sama Papa pun gak berani nentang Oma karena pekerjaan Papa adalah pemberian dari Oma. Ucapan Oma adalah mutlak bahkan untuk anaknya sendiri—Papa gue.

Dulu sebelum Papa nikah sama Mama gue. Oma selalu nurutin keinginan Papa, meski tetap ngekang tapi gak berlebihan. Papa masih bisa bernapas lega dan menjalani apa yang dia suka. Tapi setelah nikah dengan Mama—wanita pilihan Papa sendiri bukan dengan wanita yang dijodohkan Oma. Oma jadi lebih sangat mengekang Papa. Awalnya Oma menolak jika Papa menikah dengan Mama namun Papa mengancam akan pergi dari rumah jadi Oma restuin walau pun dengan berat hati. Karena itu sampai sekarang Oma tidak pernah suka dengan Alea—mama gue.

"Kamu harusnya belajar! Biar bisa jadi Dokter. Saya sudah tau tempat Kuliah yang bagus dan terbaik buat kamu! Tapi bukannya belajar. Kamu malah kelayapan!."

Dokter lagi. Dokter lagi. Siapa sih yang mau jadi Dokter. Huff.

Gue kehabisan kata. Benaran gak tau harus ngomong apa. Toh mau gue bilang apa pun tetap dibantah Oma. Alhasil gue diam aja sambil nunduk. Gak berani gue natap matanya Oma.

"Kenapa diam! Udah mulai tidak sopan kamu sama saya?! Seharusnya kamu tinggal sama saya biar kamu diajarin sopan. Sekarang lihat kamu kayak perempuan tidak berpendidikan karena diajari sama Mama kamu itu." Bentak oma. Gue natap Mama yang udah nunduk dan Papa yang cuma diam. Pasrah. Sedangkan Rava natap gue kasihan.

Seketika amarah gue memuncak. Gue gak pernah apa-apa kalo Oma ngehina gue perempuan gak benar lah atau apapun. Tapi gue benar-benar gak gak suka kalo Oma bawa-bawa Mama dalam keteledoran gue.

"Mama gak ada hubungannya sama ini Oma! Jangan bawa-bawa Mama." Bentak gue. Kali ini gue benar-benar muak.

"Berani kamu bentak saya!—Ini yang kamu ajarin sama Ginesa? Apa yang kamu ajarkan? Membuatnya jadi tidak sopan dengan Oma nya?" Sinis Oma pada Mama.

"Oma!" Gak sadar air mata gue udah netes. Sialan.

"Maafin saya ma." Ucap Mama sambil nunduk. Sumpah itu bikin gue tambah kesal. Kenapa Mama malah nunduk sih! Oma kan jadi seenaknya.

"Mama! Mama gak perlu nunduk kayak gitu!" Ucap gue natap Mama setelah itu natap ke Oma.

"Oma udah keterlaluan. Mama salah apa sih sama Oma?" Sialan airmata gue!.

"Maaf? Kamu pikir dengan maaf bisa mengulang waktu supaya ajarin Ginesa lagi? Tidak bisa. Kamu sudah membuat Ginesa jadi tidak sopan!Saya tambah yakin. Kamu memang perempuan tidak jelas dari dulu! dan seharusnya Ferdi tidak menikahimu tapi dengan Nia yang jelas lebih bisa mengurus seorang Anak!.

Mama nangis. Perasaan gue benar-benar keiris!

"Cukup ma! Mama keterlaluan." Bentak Papa.

"Diam kamu Ferdi?! Ini wanita yang kamu pilih? Yang bahkan tidak bisa mendidik anaknya dengan baik!" Bentak Oma. Papa diam.

Gue udah nangis menjadi-jadi. Rasanya gak terima banget Oma ngejatuhin mama gitu. Sekarang Oma natap gue.

"Kamu lebih baik tinggal sama saya!"

Gue tersentak. "Gak mau Oma." Rengek gue.

"Tidak. Kamu harus mau dengan didikkan saya kamu bisa menjadi pribadi yang baik dan Dokter yang hebat."

Ok. Gue emosi lagi.

"Oma aku gak pernah mau jadi dokter. Kenapa Oma gak pernah nanya aku mau jadi apa. Oma selalu seenaknya mutusin apa-apa tanpa bicarain dulu sama aku dan Kak Rava!"

"Terus kamu mau jadi apa? Penyanyi? Dapat apa kamu kalau jadi Penyanyi? Lebih baik menjadi Dokter yang sudah jelas gajinya besar daripada menjadi musisi!" Bentak Oma.

Sialan!!!

"TERSERAH OMA MAU NYURUH AKU JADI APA! TAPI JANGAN HARAP AKU MAU TINGGAL SAMA OMA!" Amuk gue keras dan langsung berlari dari situ.

Gak perduli lagi kalau gue gak sopan. Gue muak sama semuanya!.

Gue banting pinti kamar naik ke tempat tidur nangis menjadi-jadi.

Sebelumnya gue sempat lihat Kak Rava ngikutin gue. Tapi gue benar-benar lagi pengen sendiri jadi gue gak bukain pinti yang sejak tadi udah diketok Rava.

**
Hallo ada yang kangen? Gak ya? Huhu.

Gimana nih part ini? Komen dong :v
See you next part :)

Recla (My Possesive Girlfriend!)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang