- 1 -

364 31 4
                                    

Gian menggeliat malas begitu tepukan serta guncangan pelan mengusik tidur lelapnya. Menyipitkan mata ketika cahaya mentari bersinar terik membakar pelupuk. Kening berkerut berusaha mengenali sesosok rupa berdiri membungkuk di atas Gian dengan latar langit biru cerah bertebar gulungan awan tipis.

Terbeliak saat mengingat sosok familier itu, kini berganti posisi duduk bersila dengan kotak bekal di pangkuan. Tampak sedap dengan asap mengepul hangat.

"Mau?" tawar Revan begitu menangkap gelagat Gian yang menatap tak berkedip. Bangkit dari rebahan dan duduk bersebelahan.

"Kalo boleh," sahut Gian, melempar mata ke sekitar sembari menggaruk pipi.

Revan tersenyum sembari mengangguk, "Lagian, gue juga enggak bakal abis kalo makan sendiri. Kelebihan porsi."

Tanpa perintah, Gian langsung membuka mulut. Membuat Revan tertawa akan tingkah kekanakannya. Dengan agak canggung, cowok manis itu menyuapi Gian.

"Gimana?" Revan bertanya dengan mata berbinar, "Enak?"

Gian mengacungkan dua jempol ke udara. "Mantap!" pekiknya senang di sela mengunyah.

Revan mengerjap mendengar sanjungan tulus Gian, "M-makasih. Gue seneng kalo lo suka."

"Siapa yang bikin?"

"Gue." Seulas senyum bangga mengukir di bibir. "Kaget?" tanya Revan meneliti reaksi Gian. Menatapnya dengan mata melebar.

Gian mengangguk sembari menelan, "Lo emang penuh kejutan, Van. Udah ganteng, jago masak pula!"

"Biasa aja kali," sangkal Revan. Lantas membisu begitu jemari Gian mengelus pipi, menjumput sebutir nasi melekat di sudut bibir. Saling menatap sesaat sebelum melengos dengan semburat rona memulas pipi.

Serentak meoleh ke arah pintu yang berderit terbuka. Menampakkan cowok bertubuh tinggi atletis. Mengamati mereka sejenak dengan sorot menuduh. "Ya elah! Ditungguin dari tadi malah mojok beduaan di sini!" sungut cowok asing itu sembari menarik lengan Gian.

Gian menoleh bingung menatap Revan. Meminta penjelasan. "Lo ... siapa?" tanya Gian begitu pemuda manis itu tidak merespons.

Cowok itu berhenti menyeret tubuh Gian. Kemudian berbalik, "Kebangeten lo kalo enggak kenal gue."

Gian menelisik paras cowok itu. Menggeleng saat tak menemukan petunjuk akan siapa gerangan sosok misterius itu. "Apa kita ... berteman?" selidik Gian, berusaha mengorek informasi. Barangkali, cowok itu salah mengira Gian sebagai kenalannya.

Cowok itu mengangkat sebelah alis. Bertukar pandang dengan Revan seakan tengah bertelepati mengurai lilitan benang kusut dalam pikiran mereka. Tawa cowok itu pun menggelegar begitu tiba pada satu kesimpulan: "Gue suka kelakar lo, Bram!" gelaknya sembari menepuk keras lengan Gian.

"Nama gue Gian. Bukan Bram," ralat Gian mengoreksi kalimat cowok asing itu. Mendengus melihat cowok itu makin terpingkal sembari memegang perut. Dari ekor mata, Gian menangkap Revan tengah berjuang menahan tawa. Namun lolos melalui lubang hidung mencipta bunyi serupa orang mendengus.

Merasa dipermainkan, Gian memilih meninggalkan mereka dengan kaki mengentak melintasi lantai atap gedung sekolah berpagar jaring kawat. Serta bantingan pintu melengkapi pelampiasan amarahnya.

***

Dalam perjalanan menuju kelas, kerumunan siswa mengerubung di depan koridor kelas menarik perhatian Gian. Sorakan penuh semangat serta kepalan tangan meninju udara cukup bagi Gian untuk mengetahui ada sebuah perkelahian di sana.

Penasaran, Gian menyibak kerumunan. Berhenti begitu mendengar seorang siswi membisikan namanya dengan nada prihatin pada siswi lain yang baru bergabung dalam barisan penonton.

"Kok bisa?" tanya siswi yang baru menimbrung.

Gadis pertama mengedik bahu, "Gue denger sih, dia enggak sengaja tumpahin kopi ke seragam Diman."

Mulut gadis kedua menganga, "Diman yang gemar menindas itu?"

Gadis pertama mengangguk dengan raut mengiba. "Gue berencana mau melapor ke Pak Anto," tuturnya bimbang. "Tapi takut kena imbas kalo ketahuan Diman."

"Ngapain lo nyempil di situ?"

Suara familier itu menginterupsi obrolan kedua gadis yang tengah merundingkan solusi terbaik tanpa melibatkan diri mereka untuk melerai perkelahian itu. Mendengus sebal begitu menemukan sosok menyebalkan itu kini berdiri tepat di belakang bersama Revan yang menyusul kemudian.

"Ada yang lagi bagi-bagi hadiah, eh?" tanya cowok itu sinis. Leher menjulur berusaha melihat ke pusat kerumunan.

Gian mengedik bahu tak acuh, "Tau, ah." Kemudian meneruskan menerabas bahu saling berimpit berebut ruang strategis untuk menonton baku hantam yang tengah berlangsung ricuh. Selingan hiburan gratis di sela rutinitas sekolah yang membosankan.

Badan Gian membeku begitu menangkap sosok mungil seorang pemuda berkacamata di tengah lingkaran. Berhadapan dengan cowok berperawakan berandal jalanan. Siap melayangkan bogem ke muka pemuda mungil yang bergeming tanpa perlawanan.

Bogeman itu meluncur dan mendarat mulus tepat di...

"Hidung gue!" pekik Gian bersamaan dengan tubuh pemuda mungil itu yang terpelanting ke lantai tak kuasa meredam pukulan Diman.

"Hidung..." gumam Revan dengan dahi berkerut. "Gue?" tandas cowok tak dikenal itu, heran. Bertukar pandang sekilas begitu Gian menerjang ke tengah kerumunan. Berlutut di hadapan pemuda mungil terkapar di lantai dengan hidung berdarah.

"Lo ... gue?" ujar pemuda mungil, tercekat. Kemudian berdeham menetralkan kekagetan dari mimik muka. "Belom patah, kok. Santai aja," imbuhnya ketika melihat kekhawatiran terpancar jelas di mata legam Gian.

"Kita ke UKS," ajak Gian sembari menarik tangan pemuda mungil itu. "Gue obatin luka lo di sana."

Pemuda mungil itu menggeleng sembari menepis genggaman tangan Gian, "Lo enggak bakal mati cuma gegara mimisan begini." Bangkit berdiri, kemudian berjalan sempoyongan membelah kerumunan.

Gian terperanjat saat seseorang menepuk bahunya. "Siapa bocah malang itu?" tanya cowok yang kerap mengekor ke mana pun Gian pergi. Mengedik dagu ke sosok pemuda mungil. Membaur bersama kerumunan yang mulai menyebar. "Kenalan lo?"

"Dia..." gumam Gian, menerawang. Sebersit kesadaran menghantam kepala Gian yang berkabut. Menganalisis kejanggalan yang terjadi di depan mata. Kalau bocah malang itu gue, renung Gian. Lantas...

Gian merunduk, mengamati kedua telapak tangan yang lebar dan besar—juga agak kapalan. Melirik gamang ke sekitar dan sadar akan betapa menjulang badannya dibandingkan dengan beberapa siswa yang masih berlalu-lalang. Mustahil bisa bertambah tinggi beberapa senti dalam waktu semalam.

Gue ... siapa?[]

[B1] SILENCE || BLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang