- 24 -

71 14 1
                                    

Dalam pendar temaram lampu mobil, Abra tetap menawan. Setelan semi-formal berupa kemeja putih polos berpadu celana levis hitam membungkus badan cowok itu dengan sempurna. Mencetak setiap pahatan otot yang sempat luput dari perhatian Gian.

"Jadi, lo berencana bakal tembak Revan malam ini?" simpul Abra begitu Gian menutup kisah pengalaman masa silam.

Gian beringsut gelisah di kursi penumpang. "Efektif mana. Tembak langsung atau pake perantara?" tanya Gian meminta pendapat sembari menggosok tapak tangan. Bersimbah keringat dingin.

"Maen ke aksi aja. Semisal kasih ciuman panas?" saran Abra, frontal.

"Gendheng!" umpat Gian, berang. "Gue bakal kena gampar, Bego! Pacaran aja belom udah maen sosor duluan!"

Alis Abra bertaut. "Cinta cuman butuh bukti berupa tindakan menurut kehendak hati, bukan sekadar serangkaian kata romantis penuh taburan bunga setaman."

Gian menggeleng pelan. "Cinta juga butuh proses. Bukan sekadar bertemu dan berkenalan di lapangan, lantas berakhir di ranjang kemudian saling melupakan setelah puas melebur badan."

Abra mendengus akan pemikiran naif Gian. "Cinta tanpa seks itu omong kosong. Cinta cuman masalah lubang-kunci. Lo tau alasan kenapa banyak pasutri meminta cerai?"

Gian memutar bola mata sembari melenguh napas bosan. "Yah ... karena mereka salah memilih anak kunci yang pas untuk membuka hati dan menanam benih cinta pasangan mereka. Benar?"

Cengiran puas mengaris di bibir Abra, "Tebakan jitu. Jadi—"

"Oke, cukup." Gian angkat tangan, "Berenti racuni pikiran gue sama obsesi hiperseks lo."

Abra menurut. Mengunci kembali mulut. Yeah, Gian tidak menangkap sinyal peringatan—sekaligus permohonan—dalam perdebatan mereka.

"Boleh gue minta sesuatu ke lo?" Begitu mobil Abra berhenti di depan gerbang sekolah.

Gian menoleh. "Apa?"

Abra mendesah berat. "Cium gue. Yah ... semacam ciuman perpisahan, barangkali?" dalih Abra sembari menggaruk tengkuk begitu melihat Gian tertegun.

Gian meneguk ludah, serak. "Apa kita bakal ketemu lagi?" Lantas meringis seakan ada kepalan tangan gaib meremas ulu hati.

Abra menatap lekat mata bening Gian. Kemudian mengedik bahu, "Gue enggak bisa janji."

Tanpa komando, Gian bergerak maju dan melumat bibir Abra. Melebur bibir mereka dalam satu tarikan napas panjang. "Ingat ... lo berutang ciuman ke gue," bisik Gian sembari menepuk dada Abra. "Catat itu."

Abra membeku tanpa sempat bereaksi menyambut ciuman singkat itu. Meski begitu, Abra masih bisa mengecap sentuhan lembut serta sensasi kenyal tekstur bibir Gian.

"Semoga kita masih tetap bisa berkomunikasi selepas lulus dari sekolah ini," doa Gian penuh harap sembari membuka pintu dan beranjak keluar.

***

"Tumben sendirian," serbu Tarub begitu melihat Gian di gerbang sekolah dengan kepala celingukan. "Mana Abra?"

Sepulang dari mall petang kemarin, Revan menelepon dan mengajak Gian sebagai pasangan dansa di pesta prom. Yeah, Gian tahu ada campur tangan Abra di balik kejutan itu.

Mereka sepakat akan bertemu di gerbang tepat pukul tujuh. Akan tetapi, pemuda manis itu masih belum tampak meski jarum pendek sudah mendekati angka delapan.

"Awas kemalingan, lho." Bimbo mewanti sembari melirik ke rombongan cewek bergaun ketat dan berbahan minim serta transparan. "Buruan pasang rantai, gih! Sekalian setel alarm biar enggak ada perek berani deketin dan embat Abra dari tangan lo."

Gian menggeram akan ledekan Bimbo. Melumas tungku hati Gian dengan baluran bensin. "Gue sama Abra cuman temenan. Titik enggak pake koma!"

"Sensi amat." Tarub berjengit mundur, menyingkir dari semburan api Gian. "Lagi PMS lo?"

Gian membuang muka. Mengentak kaki ke susunan batu setapak menuju lapangan sekolah dengan muka merengut sebal.

Bimbo melenguh napas jengah akan kelakuan manja Gian. Mudah merajuk tanpa alasan. "Mau ke mana?"

"Cari Revan!" sahut Gian tanpa menoleh.

Bimbo dan Tarub bertukar pandang. "Revan?"

***

Di sisi lain, Revan mengedar mata ke sekitar. Menambat pada rombongan anak basket mengerumun di sudut lapangan. Saling melempar kelakar dengan sekaleng bir di tangan.

"Kalian liat Abra?" sela Revan begitu tiba di hadapan mereka. Meredam gelak tawa.

"Ada di parkiran mobil, noh! Lagi semedi," seloroh Gibran sembari menunjuk dengan kedikan dagu. "Kenapa, emang?"

"Oke. Makasih," sahut Revan sambil lalu. Berderap pergi meninggalkan tanda tanya di benak Gibran.

Ada apa gerangan?

Benar saja, Abra tengah berdiri bersandar ke mobil dengan kepala menengadah menatap langit bertabur gugusan bintang. Lekas menoleh ketika seseorang memanggilnya.

"Lo enggak berencana pindah, kan?" tanya Revan tanpa formalitas. Mengutarakan kegundahan hati sejak menemukan tumpukan kardus di kamar kosong Abra ketika singgah ke rumah cowok itu dalam perjalanan menuju pesta prom.

"Enggak ada lagi yang menahan gue di sini," sahut Abra sembari mendesah berat.

"Gue udah penuhin harapan lo," lapor Revan dengan nada bergetar. "Sekarang ... giliran lo kabulin keinginan gue."

"Mau minta apalagi ke gue?" bisik Abra dengan tatapan kosong. "Mesti lo tau: Gian segalanya bagi gue."

Menggigit bibir, mengunci isak yang mengancam keluar. "Gue enggak butuh Gian, tapi ELO!" jerit Revan meludahkan sesak dalam rongga dada. "Gue cinta sama lo ... Abra."

Abra tertegun akan pengakuan hati Revan. "Sori, Van. Gue enggak bisa menerima perasaan lo."

Revan mendengus sinis akan ironi cinta mereka. Saling bertepuk sebelah tangan demi kebahagiaan Gian. "Lo beneran egois, ya."

"Tolong jaga Gian dengan baik. Antar dia pulang sebelum tengah malam," pinta Abra memberi instruksi pada Revan. "Ah, ya! Selalu pantau bocah itu jangan sampe keperosok sama temen enggak bener."

"Abra!" panggil Revan menjeda gerakan Abra hendak membuka pintu mobil. "Kita bisa temenan kalo emang enggak ada lagi ruang di hati lo buat mengukir nama gue di sana."

"Lo tau kenapa banyak pasangan kekasih berselingkuh?" tanya Abra beretoris. "Karena ada orang ketiga di antara mereka. Gue enggak mau kisah cinta ini berakhir mengecewakan seperti itu."

"Please, jangan pergi." Revan meratap sembari mengetuk kaca jendela mobil Abra. Berupaya mengubah pendirian kapten basket itu. "Tetap di sini ... bareng gue sama Gian."

Tubuh Revan tersentak mundur ketika roda mobil itu menggerus kerikil. Meluncur mulus keluar pelataran parkir. "ABRAA!" raung Revan sembari berlari mengejar.

"Van?"

Derap kaki Revan kontan membatu. Memutar badan, mendapati Gian berdiri rikuh tidak jauh dari posisinya berada dengan jemari memilin ujung kemeja.

"Gue..." Gian berdeham. Mengatur intonasi agar terdengar mantap. "Gue cinta sam—"

Kalimat itu mengapung dalam sapuan tangis histeris tumpah ruah dari bibir Revan.

Pelan, Gian berjalan mendekat dan merangkul leher Revan. Merebahkan kepala pemuda manis itu ke bahu sembari mengusap rambut menenangkan. "Udah, jangan sedih. Gue enggak marah, kok."

Meski demikian, hati Gian tetap merintih akan luka tak berdarah menoreh dalam guratan perih.[]

[B1] SILENCE || BLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang