- 11 -

95 20 0
                                    

Setelah puas mencoba berbagai macam wahana di taman hiburan sore itu. Mereka menutup hari dengan menikmati panorama senja dari atas ketinggian sangkar bianglala menggantung pada kerangka roda besi raksasa. Langit bersemburat jingga membentang luas di balik birai kaca gondola berputar lamban searah jarum jam.

"Liat!" pekik Gian sembari menjentik telunjuk ke satu titik di bawah mereka. "Rumah bergenting cokelat mengilap itu. Rumah lo, bukan?"

Revan bergumam lesu seakan aktivitas berkelana taman hiburan sudah menguras habis pasokan tenaga.

Gian mendesah akan kebungkaman Revan. "Bosen, ya."

Revan menggeleng samar. Tetap merunduk mengamati jemari sibuk memilin ujung baju seragam di pangkuan. "Tanggal berapa kemarin. Lo inget?"

Roda gerigi otak Gian lekas berpacu. Mengubek informasi tersimpan rapi dalam arsip memori. Memuat daftar perayaan hari besar di setiap bulan selama setahun. Memastikan tidak ada agenda penting luput dari perhatian.

Mata Revan berbinar begitu Gian berhasil menguak kabut misteri dengan petunjuk tanggal hari kemarin. "Jadi?"

"Selamat ulang-tahun, Van!" ucap Gian antusias sembari mengulur tangan. Kok bisa barengan, sih?

Revan membuang muka sembari bersedekap, "Telat!"

"Sori ... gue beneran lupa," dalih Gian sembari menggaruk pelipis.

Revan mendengus sebal, "Huh, kebiasaan."

Gian terkekeh akan tabiat buruk Abra yang sudah dihafal baik pemuda manis itu. Kemudian bengong begitu sebelah tangan Revan menadah.

Revan menggeram atas ketidak-pekaan Gian, "Kado."

Gian tersentak seakan baru tersengat tegangan listrik. Spontan, merogoh setiap saku serta membongkar ransel berharap menemukan sesuatu sebagai hadiah hari kelahiran Revan.

Bahu Revan melorot bersama binar bahagia memudar dari bola mata cokelat terang. "Salah gue berharap lebih ke lo. Kepedean banget anggep lo beli kado kemarin buat kejutan ultah gue," aku Revan sembari mengembus napas sendu.

"Kasih gue kesempatan, Van."

Revan tertegun menatap kesungguhan di mata Gian. Berdiri merendah sembari memegang erat lengan pemuda manis itu, "Kita nobar aja besok. Lo beli tiket dan gue siapin bekal buat ganjel perut kita. Gimana?" usul Revan sembari melirik sekitar. Beringsut resah di dudukan.

Gian mengangguk mantap. "Sepakat."

***

Keesokan hari, Gian berangkat lebih pagi. Membonceng motor sang ayah yang berkantor sejalur dengan arah gedung sekolah lantaran ban sepeda bocor. Tiba di depan gerbang sekolah sepuluh menit kemudian.

Bertegur sapa dengan satpam penjaga gerbang, sebelum bergerak mengikuti alur rencana yang sudah dirancang matang semalam suntuk. Bahkan sampai menggambar denah lokasi beserta durasi eksekusi lengkap dengan penghitungan waktu secara terperinci.

Berbekal selentingan informasi dari hasil pengintaian selama ini. Gian mampu memperkirakan dengan ketepatan waktu mendekati seratus persen akan rutinitas Revan setiap pagi. Mulai dari bangun tidur sampai tiba di sekolah serta rute mana yang biasa diambil untuk menuju ke kelas.

Padahal akan lebih mudah bila Gian bertahan menetap di tubuh Abra. Akan tetapi, Gian tak bisa selamanya bergantung pada tali keberuntungan yang bisa putus setiap saat tanpa bisa ditebak. Bahkan dengan bantuan horoskop.

Seperti yang kerap terjadi di dunia sinetron, Gian meramu adegan itu dengan sangat alami seakan tanpa unsur kesengajaan. Setumpuk buku pelajaran Revan berjatuhan ke lantai akibat benturan badan ketika mereka berbelok bersamaan di sudut koridor dari sisi berlawanan.

"M-maaf, Kak!" sesal Gian berdusta sembari membantu Revan memungut buku yang berserakan di lantai koridor. Tanpa ketahuan, secarik surat berisi tiket bioskop terselip aman di halaman buku pelajaran matematika Revan.

"Panggil aja Revan," sahut Revan lekas mengambil buku dari uluran tangan Gian. "Kita seumuran, kok."

"Siap, Kak!" patuh Gian sembari memberi hormat ala tentara militer.

Kontan, Revan cemberut.

"Eh ... Revan, ding."

Revan mendengus melihat Gian terkekeh pelan. "Ya udah, gue duluan." Melambai sebagai salam perpisahan.

Gian menggigit bibir bawah. Menekuk siku sembari mengepal kedua tangan, meredam buncah bahagia yang meledak dalam dada. Yes, gue berhasil!

***

Begitu memasuki kelas, Revan bergegas ke bangku Abra di pojok belakang dekat jendela. "Nih, gue balikin."

"Taruh aja di meja," sahut Abra tanpa menoleh. Fokus memandang ke luar jendela dengan tangan menopang dagu.

Sebagai ketua panitia OSIS. Terlibat aktif dalam program kegiatan sekolah—semisal mengadakan penggalangan dana bagi korban bencana alam—berimbas pada pengurangan jam belajar efektif di sekolah. Meski demikian, Revan mampu membagi waktu secara konsisten dan efisien.

Semua teman sekelas sepakat meminjamkan buku catatan mereka supaya Revan bisa mengejar materi pelajaran yang ketinggalan. Akan tetapi, pemuda manis itu selalu menyalin catatan dari buku tulis Abra. Meski tahu, cowok itu tak pernah menyimak apalagi merangkum penjelasan guru dalam buku tulis.

Revan mengedik bahu begitu sadar Abra menutup jalur komunikasi. "Makasih, Abra." Meletakkan buku pelajaran matematika di meja Abra dan berbalik menuju bangku di barisan depan.

Tanpa sengaja, ekor mata Abra menangkap sesuatu berbentuk segitiga mencuat dari lipatan halaman buku matematika yang membujur kaku di meja. Penasaran, Abra mengulur tangan dan mencabut perlahan benda misterius itu dari jepitan buku matematika. Surat?

Spontan, Abra mengedar mata ke sekitar. Memastikan tiada seorang pun memperhatikan. Kemudian mengupas kelim dan menemukan dua lembar tiket tersekap di dalam bersama secarik pesan berisi undangan menonton bioskop bareng sepulang sekolah.

Mata Abra menyipit sembari mendorong kepala mendekat ke meja. Mencoba mengeja nama sang pengirim surat dengan huruf tulisan sangat kecil. Hampir seperti coretan abstrak di sudut kanan bawah. "Sugianto Raharja," baca Abra begitu berhasil merangkai deretan huruf abstrak itu. Gian?

Bertepatan dering bel jam pertama, Revan menengok ke bangku pojok belakang sebelah kanan dekat jendela berkaca lebar—untuk kali pertama—ia menyaksikan Abra tersenyum. Yeah, meski berupa segurat senyum geli seakan merekah tanpa disadari.

Jantung Revan jumpalitan begitu melihat lembaran tiket di genggaman cowok itu. Melirik berulang kali ke jarum arloji, tak sabar menanti bel pelajaran terakhir berdering melengking.[]

[B1] SILENCE || BLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang