- 9 -

94 19 0
                                    

Menghela napas panjang sebelum mengetuk pintu pelan. Berderap masuk begitu mendengar sahutan dari balik pintu. Tertegun begitu selaksa sorot mata serentak mengarah pada sosok Gian yang baru memasuki ruangan dengan tatapan seakan tengah memergoki maling yang berusaha kabur menggondol barang curian.

Bu Endang—mengajar pada jam pertama—menaikkan kacamata baca yang merosot di hidung peseknya. Dahi mengerut memastikan tak salah mengenali siswa yang telat hari itu. "Kamu ... Gian?" Masih enggan mengakui fakta, meski kini terpapar jelas di depan mata.

Gian berdiri rikuh di depan kelas. Kepala merunduk sembari memainkan jemari, mengutuk diri atas kebodohan menuruti nasehat sesat Abra yang beranggapan siswa teladan dengan segudang prestasi sudah ketinggalan zaman. "Lagian, hidup tanpa tantangan itu membosankan."

Sebenarnya, Gian merupakan satu murid kesayangan Bu Endang. Namun sebagai guru yang dikenal tegas dan tidak pandang bulu dalam menghukum siswa pelanggar peraturan. Beliau pun menerapkan prosedur serupa dengan memberikan beberapa buah soal pada Gian.

Barang siapa bisa menjawab benar, maka akan terbebas dari hukuman. Sebaliknya, mereka yang gagal dikenakan sanksi menggosok lantai toilet selama jam pelajaran berlangsung dan berlaku kelipatan jika ketahuan mereka tidak mengerjakan dengan benar sesuai arahan.

Dengan tanggap Gian menjawab setiap pertanyaan yang terlontar dari mulut Bu Endang. Berkelit dari jebakan soal yang bila kurang teliti bisa menjerumuskan ke dalam bilik toilet berteman sikat lantai dan sebotol klorin berbau menyengat.

"Lekas kembali ke kursimu, Edison!" titah Bu Endang mengaku kalah setelah Gian menjawab sepuluh soal tanpa meleset. Tersemat nada bangga akan daya ingat sang pemuda mungil dalam intonasi menggerutu guru fisika itu.

Gian mengucap terimakasih sembari membungkuk. Kemudian berbalik dan melintasi deretan meja menuju barisan paling belakang. Tanpa sengaja beberapa kali memergoki lirikan segelintir gadis pemalu yang segera melengos begitu ketahuan, lantas saling berbisik ke sesama teman sebangku sembari sesekali menunjuk Gian dengan isyarat tertentu.

Kemarin petang mereka pergi ke tukang pangkas rambut—tahu begitu, Gian tidak perlu repot berdandan malam itu. Sempat berdebat ketika memilih potongan rambut mana yang pas dengan bentuk muka pemuda mungil itu.

Penampilan baru Gian memberikan pengaruh cukup signifikan. Dari bocah tak kasat-mata, kini berubah bentuk menjadi objek lirikan serta kerlingan genit beberapa gadis nakal. Dengan sepasang softlens, meluruhkan kesan kolot dari paras pemuda mungil yang dahulu mereka pandang sebelah mata.

Gumam teredam gelombang mulut puluhan siswa yang membisik berentetan, mendadak senyap begitu Gian berhenti di meja deretan tengah. Bangku yang sebisa mungkin dihindari setiap murid di kelas itu lantaran takut ketiban sial. "Boleh bagi tempat duduk?" pinta Gian pada sang pemilik bangku, Zainab.

Zainab merupakan primadona berstatus sebagai kekasih Diman. Meski hanya sebelah pihak yang mengakui hubungan asmara mereka. Alasan jelas bagi semua siswa di kelas itu untuk tidak mendekati sang gadis jelita dalam radius sepuluh meter.

Dari sudut mata, Gian melirik Diman yang duduk di meja pojok belakang seberang jendela. Menggeram seperti singa siap menerkam begitu Gian mengempas pantat di kursi sebelah Zainab yang kebetulan kosong. Teman sebangkunya izin karena sakit.

Sejak insiden di kantin tempo lalu, Diman tak sekali pun menganggu Gian. Meski masih gemar menindas serta berbuat onar sampai menjadi pengunjung tetap ruang BK dengan agenda rutin minimal tiga kali dalam seminggu.

Sebelum melengos ke depan, Gian sempat beradu pandang dengan kedua sahabatnya. Bimbo menggeleng dengan muka pias bersimbah keringat dingin, sementara Tarub berusaha memperingati dengan gerakan tangan menggorok leher atas keputusan sembrono Gian.

Gian mendesah berat. Apa benar semua akan baik saja?

***

"Van."

Revan menoleh saat seseorang memanggilnya. Berjengit mundur ketika sadar Abra sudah berdiri di sebelah Revan yang hendak berganti seragam dengan kaus basket. Dahi pemuda manis itu berkerut mencoba menebak tujuan terselubung ketua tim basket itu. "Kenapa?"

Abra mengaruk tengkuk, melirik kanan-kiri seakan hendak membeberkan sebuah rahasia. "Temenin gue ke mall," sahutnya lugas setelah memastikan situasi aman. "Ada sesuatu yang pengen gue beli."

Revan bergumam, sok merenung. Padahal dalam hati sudah bersorak girang. "Sehabis latihan?"

Abra mengangguk. "Bisa?"

"Kapan pun gue siap, kok!" balas Revan mantap. Sudah lama ia memimpikan momen ini: jalan berdua dengan Abra—meski sekadar berbelanja. Tertegun begitu Abra memberikan pelukan singkat sekadar ungkapan terimakasih tanpa sempat Revan bereaksi.

"Beruntung gue punya sahabat sebaik lo," aku Abra sembari merentang jarak di antara mereka. Mencipta ruang bagi Revan bernapas bebas dari kerangkeng aroma dan kehangatan tubuhnya.

Revan berdeham sembari melengos dari tatapan Abra. "G-gue juga senang bisa bantu lo." Lekas berbalik begitu Abra melucuti pakaian tanpa sadar telah memicu alarm dalam pikiran Revan yang mulai terkontaminasi virus mesum. Kemudian bergegas keluar sebelum kalap dan membatalkan rencana belanja mereka.

***

Begitu menapaki gedung pusat berbelanjaan, Abra memandu jalan menuju gerai toko pakaian. Pramuniaga segera menyambut dan membimbing mereka sembari menawarkan setiap produk busana rancangan desainer terkemuka. Tanpa kenal lelah, memuji kelebihan produk mereka dibanding toko lain.

Abra yang kurang berminat mengikuti perkembangan fashion hanya mengangguk tanpa berusaha memahami satu pun penjelasan. Sementara Revan sangat mengandrungi dan mengetahui perubahan fashion di setiap musim, sehingga mampu dengan mudah mendeteksi jejak kebohongan dalam penuturan persuasif sang pramuniaga. Mulai dari tekstur bahan, proses pembuatan sampai masalah harga yang dipatok melebihi harga pasaran dengan model serupa.

Setelah bosan menyimak ocehan pemandu busana yang mengajak keliling ke setiap sudut gerai pakaian itu. Mereka pun memisahkan diri dari rombongan calon pembeli yang masih bingung menentukan pilihan.

"Mau coba lihat ke sana?" Revan menunjuk barisan rak yang memajang gaun khusus wanita berumur. "Kali aja ada satu baju klop di hati lo."

Abra mendesah seakan tahu harta karunnya tidak terkubur di sana. "Kita balik aja."

"Emang ... buat siapa, sih?" Revan berusaha terdengar biasa, meski sebenarnya sangat penasaran begitu sadar Abra membeli hadiah bukan untuk sang Nenek tercinta.

"Temen."

Revan menoleh, menatap Abra penuh selidik. "Cewek?"

Abra menggeleng malas. "Cowok."

Revan mendongak kaget. Eh?

"Kita pindah aja ke gerai sebelah," putus Abra setelah mencantelkan sweter katun biru dongker kembali ke rak dan beranjak keluar tanpa menunggu jawaban Revan.[]

[B1] SILENCE || BLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang