- 13 -

85 20 0
                                    

Siang itu, Gian—dalam sosok Abra—mencoba menjelaskan perihal kekeliruan tiket bioskop kemarin. Semua hancur berantakan. Siapa sangka, surat berisi tiket itu akan salah alamat?

"Van. Dengerin gue dulu," pinta Gian, menuntut.

Revan membuang muka, enggan menatap. "Simpen bualan lo. Berenti jejalin gue janji manis yang enggak bisa lo penuhin," desis Revan menepis jemari Gian dari lengan.

"Please, Van." Gian mencekal lengan. Memutar badan dan mencengkeram bahu Revan, erat. "Perkara kemarin, murni kesalahan teknis."

"Teknis?" Revan mendengus sembari menggeleng tak percaya. "Lo anggap apa perasaan gue, hah? Seperangkat mesin yang bisa lo bongkar-pasang setelah lo pereteli semua komponennya?"

Gian bungkam. Mati kutu.

Revan mengedik bahu. Menata hati yang sempat poranda akan harapan semu Gian.

Gian menahan lengan Revan ketika hendak beranjak, "Ada sesuatu yang mesti lo tau."

Revan berbalik. Menatap lekat gelagat Gian seakan tengah menyimpan gundah. "Apalagi?"

"Gue..." Gian melirik sekitar, bimbang. Sebelum menambat kembali ke telaga jernih mata cokelat Revan.

Revan menahan napas dengan jantung berdebar keras. Eh, Abra beneran...

"Gue bukan Abra," aku Gian dalam satu embusan napas.

Revan tercengang. Heh?

Gian menjilat bibir, risih. Serupa komedian kawakan gagal mengundang tawa para penonton dengan lelucon konyol. Mengarus pada keheningan tunggal yang memalukan.

"Lo ... apa?" ulang Revan seakan menderita gangguan pendengaran. Setelah sempat melambung bersama angan kebahagiaan.

Gian berdeham, "Gue Abra gadungan."

"Oke. Lo sukses bikin perut gue mules," aku Revan begitu derai tawa mereda. "Tapi ... jangan kira gue cukup dungu jadi boneka mainan lo."

"Revan!" panggil Gian ketika pemuda manis itu keluar dari ruang ganti. Namun sadar, percuma mengejar. Revan tidak akan mendengarkan.

Gian meradang. Menendang balok kayu kerangka pintu sebagai pelampiasan. Kemudian mengaduh sembari berloncatan begitu jempol kaki berdenyut nyeri. Bahkan lebih parah, Revan kini menganggap Gian menderita gangguan mental kronis. Barangkali.

***

Abra melirik kedua sisi meja begitu Bimbo dan Tarub bergabung. Mengambil tempat di kiri-kanan meja persegi mungil sembari menaruh nampan berisi menu makan siang mereka.

"Ke mana aja lo kemarin. Jalan bareng Abra?" buka Tarub mengawali sesi interogasi.

Abra kalang kabut. Menyambar gelas terdekat dan meneguk lega. Meluruhkan sesuatu yang sempat mengganjal tenggorokan. Nyaris mati tersedak.

"Jangan sok kaget begitu, deh!" sambung Bimbo. Mulai melilit mie ayam dalam satu gulungan tebal dengan garpu. "Seantero sekolah juga tau kali, kalo lo ada maen api sama Abraham Suhendar."

Abra tertegun. Lha, kok ... gue?

"Pewaris tunggal keluarga konglomerat. Siapa yang enggak kenal, sih?" timpal Tarub sembari menudingkan sendok ke arah Abra. "Udah kaya. Ganteng. Kapten basket pula!"

Sebelah alis Abra terangkat. "Masa?"

"Ish, beneran! Lo sekarang tambah populer di kalangan anak cewek, lho!" sambar Bimbo girang. Kemudian cemberut sembari menggeleng lesu. "Yeah ... meski cuma jadi ajang gosip, sih."

Alis bertaut begitu layar ponsel Tarub memampang di depan mata. Ada ulasan artikel memasang foto dirinya tengah membopong Gian dalam pose ala pengantin baru. Berada diurutan ketiga dari lima postingan artikel paling populer di forum tersebut. Sejak kapan pihak sekolah bikin situs gosip beginian?

"Jadi, beneran kalian udah resmi jadian?" tegas Tarub sembari mengantongi ponsel.

Abra menelan ludah, "Ngaco."

"Trus, kenapa kemarin kalian nonton bisokop bedua?" tebas Tarub tepat sasaran.

Bimbo mengangguk, "Abra juga sering samperin lo ke perpus tiap jam istirahat pertama." Mendukung spekulasi Tarub.

Abra tersudut. Melirik sekitar mencari alasan logis agar terbebas dari todongan senjata mematikan mereka. Kalau sampai salah omong, bakal ada pisau melayang.

Dari sudut mata, Abra menangkap Gian duduk di meja khusus barisan anak populer. Mengaduk lesu menu makan siang sembari mengamati Revan. Sibuk mengobrol dengan Gibran. Sebuah fenomena langka karena biasanya mereka tidak pernah akur dalam satu ruangan.

Bangkit berdiri ketika Revan menyuapi Gibran. Berderap pergi tanpa sepatah kata.

Lho, kenapa Gian ... marah?

Selepas kepergian Gian, rona ceria memudar dari paras Revan. Sorot mata melayu. Senyum mengendur seakan baut di sudut bibir terlepas. Tenggelam dalam arus pemikiran sendiri.

Ada apa gerangan?

"Gian ... gue lumutan, nih!" protes Bimbo. Menarik kesadaran Abra yang sempat mengembara liar.

"Ya elah, pake bengong pula!" salak Tarub sembari mengibas tangan di depan mata Abra.

"Apa?" tanya Abra seakan baru mengalami amnesia jangka pendek. "Bisa kalian ulangi?"

Bimbo dan Tarub saling melirik jengkel. Menahan diri agar garpu tetap aman dalam genggaman. Tidak berpindah posisi menancap ke kepala Abra. Mengerang begitu bel makan siang berakhir.

Fiuh, selamat gue.[]

[B1] SILENCE || BLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang