- 6 -

92 19 0
                                    

Dengan cermat Gian mengamati kamar Abra—bertolak belakang dengan perilakunya—sangat rapi dan teratur. Mata Gian menjelajah ke setiap sudut ruangan. Menggeledah lemari. Membongkar laci. Melongok ke kolong ranjang. Namun nihil, semua bersih tanpa setetes noda.

Padahal Gian berharap bisa menemukan bagian cacat dalam kemasan produk sempurna seorang Abraham Suhendar—dengan mencoret kemampuan intelektual yang masih jongkok—semisal penemuan selembar majalah erotis atau sekeping DVD cabul yang terselip entah di mana.

Namun, akankah cukup kebebalan Abra sebagai perisai pertahanan diri?

Gian bersandar ke rangka besi ranjang dengan kepala menengadah. Menenangkan pikiran yang mulai terjangkit frustrasi. Segaris retak bersudut di langit-langit kamar, menarik kesadaran Gian yang sempat mengembara liar.

Penasaran, Gian bangkit dan memeriksa keganjilan itu dengan berpijak pada kursi belajar. Aliran angin berembus dari rongga retakan itu. Merentang tangan hendak menggapai dan hampir jatuh terjengkang ketika retakan misterius itu—ternyata berupa lempengan kayu persegi—mendadak tersibak dan berayun ke bagian dalam plafon.

Jantung Gian berdebar melihat lubang menganga serupa mulut lelaki tua sekarat yang menyemburkan serpihan kayu lapuk dan kepulan partikel debu halus. Jemari Gian menyelusup dan meraba bagian dalam lubang itu setelah dinilai cukup aman.

Tertegun begitu telunjuk mengantuk sesuatu benda padat. Dengan agak berjinjit, Gian berhasil mencabut benda itu keluar dari sarang persembunyian. Beranjak turun sembari menyapu timbunan debu yang melapisi benda keramat itu.

Mulut Gian membulat dengan mata membelalak begitu sadar benda apa yang kini bersemayam dalam genggaman tangan. Bau apak menguar ketika jemari mulai terampil menelusuri rekam jejak masa lalu Abra pada setiap lembaran kisah di halaman yang sudah mengusam di bagian tepi.

Yeah. Siapa sangka, cowok seperkasa Abra bisa memiliki buku diary?

***

Pada jam istirahat, Gian menemui Abra di perpustakaan. Seperti biasa, cowok itu tengah duduk bermalasan di sana. Menumpu dagu dengan sebelah siku sembari membalik halaman sebuah buku. Tumben?

"Ab—eh, Gian!" panggil Gian hampir keceplosan. Ia belum terbiasa memanggil Abra dengan nama sendiri bila tengah bertukar badan. "Gue ada kejutan buat lo," sambung Gian dengan iringan senyum misterius.

Abra mengernyit akan tingkah mencurigakan pemuda yang kini menempati raganya. "Lo ultah hari ini?" balas Abra, mencoba menebak.

Gian menggeleng, "Pertengahan bulan depan. Eh, kenapa jadi bahas hari kelahiran gue, sih?"

Abra mengedik bahu, "Sebulan lagi, berarti. Lo pengin kado apaan?" Tanpa beralih dari buku bacaannya.

"Jangan bahas sekarang!" larang Gian, mendesak. "Ada sesuatu yang mesti lo liat." Dengan bahasa isyarat, meminta Abra mengikuti ke pojok belakang yang cukup tersembunyi dari pandangan.

Rahang Abra mengeras begitu melihat sesuatu di tangan Gian yang mengibas di depan mukanya. "Lo ngutil dari mana tuh buku?"

"Kepo," sahut Gian enggan memberitahu. "Jadi sekarang, lo mesti kabulin keinginan gue."

"Jangan harap," dengus Arba, geli. "Gue bukan jin penunggu buku diary ajaib yang lo pungut dari atap kamar gue."

"Oh, ya?" ucap Gian meragukan kecuekan Abra akan pengalaman semasa kecil. "Papi. Mami. Kenapa dedek ditinggal sendili di rumah sepi ini?" Gian menirukan ratapan anak kecil dengan tampang memelas. Lantas tertawa mengejek. "Beneran, lo enggak malu kalo rahasia ini kesebar, hm?"

Gian bersedekap menjaga buku berharga itu tetap aman dari jangkauan tangan Abra. Tersenyum puas menilik reaksi gentar pemuda mungil yang hanya menggeram di tempat tanpa mampu melawan. "Jangan kelamaan. Waktu enggak bisa menunggu," desak Gian tak sabaran.

"Oke, gue kalah," aku Abra sembari mendesah panjang seakan baru saja melepaskan beban. "Lo bebas masuk tim gue. Tapi dengan catatan, balikin dulu diary gue."

"Gampang," sahut Gian sembari bersorak dalam hati. Mengangsurkan diary itu ke Abra yang segera menyambar. "Gue simpen rahasia lo, begitu pun lo jangan bocorin aib gue sembarangan."

Abra mengangguk dan menjabat tangan Gian. Lagipula, ia juga tidak begitu memusingkan perihal orientasi menyimpang Gian. Selama itu tidak melibatkan Abra dalam masalah.

"Lo mesti ingat. Jangan pernah berani melanggar kesepakatan kita," tegas Gian menghentikan Abra yang hendak beranjak. "Gue punya banyak salinan diary lo, asal tau aja."

"Jati diri lo bakal aman di tangan gue," janji Abra penuh kesungguhan. "Lo bisa pegang omongan gue."

***

Gian mengembus napas lega begitu rebahan di kasur setelah puas memanjakan diri memesan semua jenis brownies di etalase sebuah toko kue. Kerap menerbitkan liur Gian setiap melewatinya ketika berangkat sekolah. Padahal dalam keadaan normal, Gian perlu menyisihkan uang jajan selama sebulan sekadar membeli satu brownies ukuran sedang.

Gian masih mampu mengecap rasa manis di lidah saat berjalan menuju ruang makan. Hidangan hangat sudah tersaji di meja makan. Menanti untuk dihabiskan.

Gian segera duduk di satu kursi yang mengitari meja persegi panjang itu. Mengambil piring dan menimbun semua masakan yang menggugah selera. Tanpa memedulikan daya tampung perutnya.

"Ayah, Bunda!" pekik Gian girang sibuk memilih seperti bocah yang kali pertama diajak makan di meja prasmanan sebuah restoran mewah. "Coba deh, cicip udang pang—" Kalimat itu menggantung begitu sadar Gian sendirian di meja makan itu.

Gian menarik napas, mencoba berpikir positif. Toh, kenapa harus murung kalau ia bisa makan semua masakan lezat itu tanpa harus kehilangan sepeser pun uang?

Meski demikian, Gian tidak mampu mengenyahkan rasa kesepian yang mendera hatinya. Ia belum terbiasa akan keheningan yang seakan menekan dada. Sesak.

"Semangat, Gian!" sorak Gian sembari melahap suapan pertama. Kelezatan yang menguar seketika menjelma hambar begitu menyentuh lidah. Dengan lesu, menggeser piring makan menjauh. Meneguk segelas air dan beranjak dari ruang makan suram itu.

Setelah sejam lebih keliling rumah sembari menghafal letak setiap ruangan, Gian baru sadar tak satu pun potret kedua orang tua Abra menghiasi dinding rumah dengan sentuhan rona cerah. Kontras dengan suasana hampa bersemayam suram di dalam sana.

"Nenek?" panggil Gian ketika bertemu seorang wanita tua—masih tampak anggun—tengah merajut di salah satu kamar lantai dua bagian sayap kanan.

Wanita tua itu menyipit dan tersenyum begitu mengenali siapa pemuda yang berdiri di ambang pintu kamar tidurnya. Melambai meminta Gian mendekat.

Gian menurut dan berlutut di depan kaki wanita itu yang duduk di kursi goyang dari rotan. "Nenek ... belom tidur?" Gian mencoba berbasa-basi. Padahal kenal pun tidak.

Wanita itu mengelus kepala Gian. "Nenek lupa betapa cepat kamu tumbuh dewasa. Padahal baru kemarin Nenek mengganti popok bayimu."

"Bisa aja Nenek," rajuk Gian manja. Merebahkan kepala ke pangkuan sang Nenek. "Nek?"

"Hmm."

"Boleh tanya sesuatu enggak?" Gian mendongak, berharap bisa menemukan jawaban atas keganjilan yang ada dalam rumah besar mereka.

Wanita itu menaruh benang dan jarum ke meja kecil di sebelah kursi goyang. Memusatkan perhatian ke cucu semata wayang.

"Ke mana semua foto orang tua Abra?" sambar Gian begitu mendapat kesempatan. "Kok enggak ada di rumah?" Sembari memasang tampang lugu.

Meski sekilas, Gian sempat menangkap sependar kesedihan di mata sayu wanita tua itu. Sebelum kedipan mata memupusnya dalam sekali kejap. "Lho, bukan kamu sendiri yang melarang nenek memajang foto mereka?"

Eh? "A-Abra?"

Nenek itu mengangguk. "Kalau kangen, Nenek masih simpan di loteng. Enggak dikunci, kok."

Gian tercenung. Kenapa ... Abra membuang foto mereka?[]

[B1] SILENCE || BLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang