- Epilog -

152 19 5
                                    

Serombongan gadis menjerit histeris begitu badan lelaki tinggi besar membentur tanah dengan bunyi debam keras. Menatap sangsi sosok mungil di poros lingkaran sudah membanting lelaki itu dalam sekali lontar.

Beranjak menepi kala panitia ketertiban kampus membelah barisan melingkar itu. "Ada apa ini?" tanya panitia itu dengan nada menuntut jawab segera. "Kenapa ribut sekali?"

Kontan menyisir penuh selidik lokasi kejadian. Sebelah alis menanjak curam begitu sapuan mata menemukan lelaki berbadan gempal membujur di tanah dengan mulut mengerang pelan. Kening berkerut dalam kala beralih menatap sosok mungil di sisi lain arena tanding itu.

"Bisa kalian bubar sekarang?" pinta panitia itu dengan kibasan tangan mengusir kerumunan penonton. "Sekalian antar lelaki malang itu ke sanatorium untuk mendapat perawatan medis."

Di sisi seberang, si pemuda mungil sibuk menelisik setiap garis muka panitia itu. Menambal sulam dengan seraut rupa dari kenangan masa silam. Betapa mencengangkan kemiripan dari proses reduplikasi kedua paras itu dengan menarik garis mundur beberapa tahun ke belakang.

Dalam diam, mereka bertukar kata melalui sorot mata. Berbagi duka lara atas rasa kehilangan mereka.

Lekas memaling muka begitu sadar akan sengatan mata panitia itu. Mengawasi gelagat resah pemuda mungil. Geragap canggung memaku lidah mereka setelah sekian lama tak jumpa.

Tanpa sengaja mata pemuda mungil menumbuk gelang di tangan panitia itu. Sebuah bukti akan pembenaran asumsi. Mengerak kaki berayun ke depan. Melipat bentangan jarak mereka.

Segurat senyum mengukir bibir panitia itu. Mengamati pemuda mungil berjalan mendekat dengan kepala merunduk.

"Aku kemari menagih ciumanmu," pinta pemuda mungil sembari mendongak begitu tiba di hadapan panitia itu. "Masih kau ingat itu?"

"Tanpa diminta sekalipun," sambut sang panitia sembari mengamit dan mengelus dagu pemuda mungil itu dengan sapuan lembut. "Akan kuberikan sepenuh hati padamu."

Memejam mata sembari mengalung lengan dan mengait jemari di belakang leher si panitia. Pemuda mungil menanti kecupan manis itu.

Abra ... akhirnya aku menemukanmu.


[ end ]

[B1] SILENCE || BLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang