07 | maaf

35 5 0
                                    

Getaran tanda adanya notifikasi pesan yang masuk terus mengusik tidurnya. Kernyitan di dahinya adalah tandanya. Dengan mata yang terpejam, Sera secara asal melemparkan tangan kirinya yang paling dekat dengan nakas untuk meraih ponselnya.

Kebetulan sekali, tepat saat ia berhasil meraih ponselnya ada sambungan telepon masuk. Dengan malas-malasan dan rasa kantuk yang tak tertahankan, Sera mengangkatnya.

"Halo?" Sapanya dengan suara serak dan mata masih terpejam. Ia bahkan tak sempat untuk melihat nama sang penelepon.

"Se, kok lo gak kasih tahu gua sih? Gua shock abis, Se! Harusnya kemaren pas lo samperin gua, lo cerita! Emangnya—" belum selesai yang di seberang sana mengoceh, gadis itu segera menjauhkan ponselnya dari telinga. Matanya menyipit tak senang. Ia sungguh tak mau lagi diingatkan tentang gosip busuk tentang dirinya.

"Se! Se?! Sera! SERAAA!!!" Dari kejauhan ia bisa mendengar Romeo, sang penelepon, memanggilnya dengan volume suara yang cetar.

"Apaan sih?! Jangan ganggu gua! Gua capek tahu gak sih! Pagi-pagi udah bikin orang sensi aja!" Omel Sera balik setelah mendekatkan ponselnya kembali ke telinga.

Tadi pagi ia bergadang sampai jam 3. Pikirannya bekerja tanpa kenal lelah walaupun tubuhnya sudah tak kuat. Segala pikiran negatif terus bertebaran di otaknya. Apa lagi saat mengetahui kalau Siena sejak kemarin pun belum berhasil menemukan siapakah dalang di balik anon_123.

"Ya, maaf. Tapi lo juga udah bikin gua khawatir—"

"—Sama gua juga!—"

"—Iya, sama si Tino juga! Se, gua bisa bantu apa? Apa perlu dilaporin ke polisi?" Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, si kembar pun bisa kompak. Sera tersenyum kecil akan hal itu.

Ia berdeham sejenak sebelum menjawab, "tenang, gua kemaren udah konsultasi sama BK. Katanya..." Dan pembicaraan yang kemarin sore itu pun mengalir.

"Tapi tetep aja, Se! Gua marah sama lo! Bisa-bisanya kita, gua sama Tino, malah tahunya dari gosipan orang-orang! Memang apa salahnya sih, cerita sama kita? Lo malu? Se, gua udah kenal lo sejak kita masih pake popok, jadi lo gak usah deh belaga jaim-jaiman."

"Gua...gua gak malu, Rom..." Kata-kata Romeo sedikit membuatnya tertegun, ia hampir tak bisa berkata-kata.

"—cuma?"

"Cuma...gua panik, oke? Gua sama sekali gak bisa mikir waktu itu. Gua gak tahu mesti ngapain, Rom. Dan gua minta maaf..." Sera menggantungkan kalimatnya, dan di saat yang di seberang sana tak bersuara, ia melanjutkan lagi, "maaf kalau gua secara gak langsung udah meremehkan lo sama Tino. Maaf kalau misalnya gua udah buat kalian merasa tersinggung."

"Oke, tapi gua cuma bisa maafin lo kalo lo buka pintu apartemen lo sekarang juga." Kali ini Tinolah yang memegang ponsel Romeo dan menjawab Sera.

Gadis itu memutar matanya dan mendecakkan lidahnya, walaupun tak urung bangkit dari posisinya dan menghampiri pintu.

Sesaat setelah ia membuka pintu, munculah dua wajah tampan temannya itu. Yang satu melipat tangan di depan dada dan menatapnya tajam, yang satunya lagi tersenyum bodoh dengan ponsel di telinganya.

Saat melihat itu, Sera segera memutuskan sambungan teleponnya dan mempersilahkan para tamu untuk masuk.

"Lo belom mandi ya?" Tanya Tino dengan santainya, seolah-olah mereka tadi tidak sedang membicarakan tentang gosip Sera dan dosen itu.

"Ya belomlah! Gua baru bangun tahu!" Jawabnya dengan nada sedikit membentak akibat rasa kesal. Entah kenapa, melihat senyuman bodoh Tino—yang padahal sudah ia lihat lebih dari berjuta-juta kali—membuat jantungnya berdebar lebih kuat.

GeminiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang