Duka

48 1 0
                                    

“Pa, kalau Nuha enggak mau lanjut S2, gimana?” Lidahnya yang panjang asyik menjilati Magnum double caramel.

Zafran melepas kaca mata. Meletakkan di atas buku yang baru selesai dibaca. “Kamu pasti punya alasannya, bukan?”
Nuha mengangguk mantap. “Nuha pengen mondok, Pa. Biar bisa jadi penghafal Alquran.”

Aliran darah dalam tubuh Zafran tiba-tiba serasa berselancar dengan cepat. Selama ini dia memang selalu mengimbau keluarganya untuk salat. Tapi tidak terpikir sedikit pun akan memasukkan anaknya ke pesantren.
Raut muka Zafran mendadak merah padam. Pria berbadan tegap itu seperti ingin marah pada dirinya sendiri. Bahkan untuk membuka kitab suci saja seperti tak sempat. Entah kenapa ratusan atau ribuan buka bacaan sudah dilalap habis olehnya. Bibirnya bergetar. Dingin. Ada perasaan hebat baru saja menerobos dalam dada.

“Pa ...!” Nuha sedikit berteriak. Bingung dengan ekspresi sang ayah yang mendadak beku.
“Nanti kita bicarakan lagi, ya. Papa mau ke kamar dulu.” Nuha ditinggal sendiri di perpustakaan pribadi milik keluarga.

Ada perasaan malu luar biasa ketika Nuha menyebut dirinya ingin menjadi seorang hafidzah. Zafran merebahkan tubuh di atas ranjang. Diraihnya telepon genggam yang  berjarak sejengkal di samping tangan. Dengan lincah jemarinya mengetikkan keyword “hafidz” pada kolom search di Youtube. Ada seorang anak berusia sepuluh tahun hafal Alquran. Sang hafidz tengah diwawancara pemandu acara talkshow.

“Kenapa kamu ingin menjadi penghafal Alquran?” Tanya sang Presenter.

“Karena aku ingin berkumpul dengan ayahku yang sudah meninggal.”

Tubuh Zafran menjadi begitu lemah. Dia ingat dengan ayahnya yang juga telah tiada. Tak terasa buliran air mata mendarat lincah di pipi. Suara azan dari musala dekat tempat tinggal Zafran dan keluarganya mengalun indah.

Zafran kembali terpukul mengingat dirinya tak pernah menginjakkan kaki di surau. Maka, sejak siang itu entah angin apa yang membawa langkahnya ringan salat berjamaah.
Dunia terlalu membuatnya sibuk. Kekayaan yang dia miliki menjadikan lalai. Memang salat lima waktu tidak pernah ditinggalkan. Namun, untuk berjamaah rasanya bisa dihitung dengan jari.

Zafran membuka sebuah mushaf kecil. Meresapi setiap ayat demi ayat. Ponsel pintarnya tiba-tiba saja menjerit. Zafran menjawab “iya” sebelum mengakhiri obrolan. Dia keluar dari musala. Bergegas menyalakan mesin mobil. Pria berbadan tegap itu menelepon rumah.

“Halo ....” Nuha mengangkat telepon.
“Nuy, Papa ke pabrik. Tadi ada panggilan mendadak. Bilang ke mama, ya.”

“Oh, iya, Pa.”

Zafran menutup telepon. Dia bisa saja menghubungi gawai sang istri. Namun, Merina sedang tidur. Zafran takut mengganggu.

Mobil Mercedes Benz silver melesat jauh di atas kecepatan rata-rata. Zafran yang selalu terlihat tenang begitu panik. Butiran peluh menghiasi dahi pria bertubuh tegap itu.

“Ada apa?” Zafran bertanya kepada siapa saja yang melintas begitu sampai.

Salah satu karyawan menjawab dengan nada cemas. “Pembangkit listrik di belakang pabrik terus mengeluarkan asap, Pak.”

“Sudah berapa lama?” desak Zafran.

“Sekitar setengah jam lalu, Pak.”

Petugas PLN, bagian keamanan dan sejumlah petugas kebakaran sudah dikerahkan. Mengantisipasi hal buruk terjadi. Zafran mendekati sumber masalah. Asap tebal mengepul semaunya.

“Jangan mendekat ke situ, Pak. Area berbahaya!” Salah satu petugas mengenakan rompi oren memperingatkan.

Zafran menurut. Saat memutar tubuh hendak berbalik. Pria bertubuh tegap itu seperti menginjak sesuatu di kakinya. Dia berusaha menyingkirkan dengan tangan kosongnya.

“Aaaa ....” Tubuh Zafran terpental sejauh dua meter. Orang-orang berhamburan menolong. Zafran tersengat listrik tegangan tinggi. Asap yang keluar mulai reda.

Diangkatnya tubuh Zafran ke dalam mobil. Saat hendak dilarikan ke rumah sakit, terdengar samar lafal Allah dari mulut Zafran yang tak berdaya. Nyawanya terhempas saat dalam perjalanan.

Sumber permasalahan di pabrik dapat diselamatkan. Namun tidak dengan nyawa Zafran. Keluarga sudah dihubungi beberapa petugas. Dalam sekejap orang-orang sudah ramai berkumpul di kediaman Zafran. Merina dan Nuha masih pingsan di kamarnya. Hanya Nanu yang terlihat tegar melihat tubuh ayahnya teebujur kaku.

Zafran, yang terkenal dengan seribu kebaikannya telah mangkat. Meninggalkan nama baik yang ditorehkannya selama hidup. Bukan hanya keluarga yang merasa kehilangan. Semua orang yang mengenalnya merasakan duka yang sama.









Nuha binti ZafranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang