Keadaan Nanu semakin membaik. Nuha berhasil menghapus warna gelap di setiap hari adiknya. Aktivitas sekolah sudah mulai pulih kembali.
“Aku berangkat dulu ya, Kak.” Setelah menenggak susunya Nanu bergegas menuju mobil. Pak Udin siap mengantar.
Nuha mengangguk. Tersenyum walau hanya secuil. “Jangan lupa berdoa, baik-baik ya, Nu.”
Nanu mengacungkan jempol. Wajahnya mulai cerah kembali.
Nuha menyandar di kursi tempat makan. Satu sendok nasi sulit untuk masuk ke mulutnya. Pikirannya melayang jauh memikirkan nasib Merina yang sepekan ini belum juga pulang ke rumah. Belum lagi dia harus berbohong pada Nanu bahwa ibu mereka sedang ada kerjaan di luar kota.
Nomor Merina sudah tidak aktif dari tiga hari lalu. Pak Udin dan Mang Ujang sudah membantu mencari. Hasilnya masih nihil. Kemarin Nuha sempat meminta bantuan polisi melacak nomor ibunya. Hingga pagi ini dia belum mendapat info apa pun.
Ketika kepayahan melanda, telepon berdering.
“Selamat pagi, dengan kediaman Nona Nuha?” Suara dari lubang-lubang kecil telepon menghantam telinga Nuha. Suara tegas itu pasti polisi.
“I-iya, benar. Saya Nuha.” Agak gemetar Nuha menjawab. Semburat harap seperti menyelusup tajam ke relung hatinya.
“Kami informasikan bahwa Nyonya Merina berada di Dago selama sepekan. Hari ini beliau sudah tiba di Jakarta. Informasi tersebut berdasarkan hasil melacak nomor telepon seluler beliau.”
“Te-terima kasih banyak, Pak.” Nuha mengambil nafas lega.
Disandarkan kembali tubuhnya di atas kursi. Kini lidahnya sudah mulai bersahabat. Nasi goreng di hadapannya berhasil memenuhi rongga mulut. Gairah hidupnya seperti menyala kembali.
Setengah jam berlalu, Nuha masih mengeringkan rambut basahnya selepas mandi. Suara klakson mobil terdengar nyaring. Gadis berpipi gendut itu langsung memburu jendela. Diam-diam mengintip. Terlihat jelas mobil kesayangan mendiang sang ayah masuk ke halaman rumah?
Merina turun dari mobil hitam mengilat yang membawanya. Nuha masih bersembunyi di balik gorden memastikan ibunya baik-baik saja. Mobil itu melaju kembali. Sang pengemudi tidak ikut turun. Mama masuk ke rumah setelah melambaikan tangan ke arah mobil yang pergi meninggalkannya.
Nuha masih mengenakan handuk di kepala berhamburan menyusul ibunya.
“Mama, ke mana aja? Semua orang di rumah nyariin mama.” Nuha memasang wajah sumringah menyambut ibunya
“Ada urusan.” Seperti biasa Merina menjawab sinis.
“Tadi siapa yang nganterin mama. Kenapa mobil kita dibawa pergi?”
“Temen mama. Udah ah, mama capek mau istirahat.”
“Tapi, Ma?”
Merina membanting pintu kamarnya. Melemparkan tubuh ke atas ranjang empuknya.
***
Sudah tiga hari sejak kepulangan Merina Nuha merasa diabaikan. Tapi tidak dengan Nanu, anak laki-laki itu masih sangat diperhatikan. Dibelikan banyak mainan dan makanan. Padahal kamar Nuha dan Nanu berhadapan. Untuk bertanya kabar anak gadisnya saja Merina seperti tak berminat.
“Ma, dari kemarin orang perusahaan datang. Minta posisi papa segera digantikan.” Nuha mendekati wanita berambut keriting yang sibuk menyisir rambut Nanu.
“Memang kamu pikir segampang itu nyari pengganti?” Merina menjawab tanpa memandang anak gadisnya.
“Atau minta tolong ke Om Andre-adik mama,” usul Nuha.
“Dia cuman tukang kebun. Disuruh pegang perusahaan bisa-bisa hancur. Harusnya kamu yang nerusin perusahaan.”
“Tapi mama kan tau Nuha pengen masuk pesantren.”
“Ya udah lah terserah. Capek ngomong sama kamu. Emang enggak bisa diandelin. Nu,am tunggu di bawah.”
Merina berlalu melewati Nuha yang mematung. Nanu mengulurkan tangan berpamitan. Mencium tangan Nuha. Gadis itu segera terbangun dari lamunannya.
“Eh, Nu hati-hati, ya.” Nuha mencium kening Nanu dan mengelus-elus kepala bocah kecil itu.
Nuha setengah menangis di kamarnya. Berandai-andai Zafran masih hidup. Dia khawatir dengan nasib keluarga dan perusahaan yang dibangun mulai dari nol oleh ayahnya.
Suara musik bergemuruh di lantai dasar. Lagi, Merina kembali mengadakan pesta bersama teman-temannya. Siang hingga malam rumahnya persis seperti diskotik.
Nuha sudah tak tahan. Menahan amarah hanya membuatnya semakin terpuruk. Sudah berkali-kali diingatkan, Merina tetap sama.
Musik tiba-tiba berhenti. Semua mata sekarang tertuju pada Nuha.
“Kenapa dimatikan?” Suara lantang Merina menyergap ke arah Nuha.
“Ma, ini enggak benar. Kalau mama terus menghamburkan uang, kita bisa bangkrut. Sementara perusahaan sedang tidak kondusif.”
“Hey, jangan bikin malu di depan temen-temen mama kamu ya!”
“Ma, tolong dengerin Nuha dulu.”Suara Nuha mulai serak memohon. Ibunya tanpa peduli menarik tangannya hingga kemerahan.
Nuha yang tak berdaya gemetaran. Dirinya dimasukkan ke dalam gudang. Tanpa ampun Merina menguncinya dari luar.
“Ma, jangan kurung aku. Plisss Ma. Aku juga anak mama.” Nuha terduduk. Berteriak hanya menghabiskan suara dan tenaganya.
“Yuri! Berikan makan pada anak sialan itu sekali sehari.” Merina menyerahkan sebuah kunci.
Yuri-salah satu asisten rumah tangga hanya bisa mengiyakan sambil gemetar tubuhnya.
Nuha memeluk lututnya. Bibirnya menggigil. Suara musik keras kembali menghantam telinga. Nuha yang malang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nuha binti Zafran
RomanceNuha adalah seorang anak dari keluarga Zafran, pengusaha kaya raya yang terkenal di kota. Namun, saat usianya menginjak remaja ayahnya meninggal dunia karena tersengat listrik. seluruh kekayaan jatuh kepada ibunya yang amat kejam. Hanya dalam waktu...