Tiga Bidadari

24 1 0
                                    

Nanu masih menikmati burger pada gigitan terakhir di mulutnya. Merina keluar dari kamar.

“Loh, Nu! Kamu kok makan burger? Tadi kan mama masakin nasi goreng.”

“Iya, Ma. Udah abis nasi gorengnya. Aku masih laper, jadi makan lagi deh.” Nanu nyengir.

“Kok agak aneh ya, padahal mama paling tahu kalau perutmu itu tidak bisa muat makanan banyak.”

“Iya, tapi kali ini aku laper beneran.” Nanu bangun dari kursinya.

Saat Nanu membuang bungkusan sampah dengan membungkuk, kunci dari sakunya jatuh. Bocah kecil itu panik, mulutnya ditutup dengan jemari kecilnya. Merina memungutnya.

“Kunci gudang?” Dengan muka garang Merina menatap anak laki-lakinya. Tanpa pikir panjang, langkah kaki wanita galak itu menuju gudang.

Begitu pintu terbuka, Merina marah bukan kepayang. Banyak bekas sisa makanan berserakan. Dan yang membuat  dia bertambah garang ketika Nuha tidak ada di tempat. Wanita berambut keriting itu melotot ke arah Nanu. Membuat tubuh kecil itu mengkirut.

Nanu melihat jendela sudah terbuka. Dia tahu kalau Nuha sudah berhasil melarikan diri. Sebelum ibunya marah besar, bocah ompong itu berinisiatif keluar dari rumah. Mengikuti jejak kakaknya. Dia pergi saat Merina sedang mengecek seluruh sudut ruangan.

Hampir dua kilometer jarak yang ditempuh Nanu. Kerongkongannya terasa kering. Panas matahari menyerang tubuh kecil itu. Sepanjang perjalanan, dia melihat bekas tetesan darah menghiasi jalan beraspal. Mungkinkah itu darah kakaknya? Sedikit terlintas gambaran Nuha. Buru-buru ditampiknya.

Nanu duduk di sebuah halte. Kakinya sudah tidak kuat berjalan. Sebuah mobil mewah memberi aba-aba agar bocah kecil ompong itu turut.

“Ma-ma?” Nanu melotot ketika Merina turun dari mobilnya. Matanya menyelidik ke arah pengemudi. Dia adalah om om yang sering membawa mobil ayahnya.

“Nanu masuk ke mobil!” Perintah Merina seperti komandan kepada prajuritnya.

Bagi Nanu, ini bukan sebuah pilihan. Tapi mau tidak mau akhirnya bocah sepuluh tahun itu naik ke kendaraan mewah itu juga. Melesat bersama ganasnya perasaan yang tidak nyaman terselip dalam hati.

***
Mata Nuha mulai terbuka. Sejak kemarin dia tidak sadarkan diri. Gadis malang itu berada di kamar berukuran tidak terlalu besar. Tapi tidak terlalu kecil. Pendingin ruangan dengan suhu sedang menyambut baik kesadaran Nuha.

“Di mana aku?” Batin Nuha mulai terlapisi pertanyaan.

Nuha merasa berat saat ingin bangun. Tubuhnya begitu kaku. Kaki yang kemarin penuh goresan luka terbalut kain putih rapi.

Gadis malang itu menjadi ingat semuanya. Tiba-tiba Nuha teringat adik kesayangannya. Sambil menelurkan butiran bening, dia memikirkan keadaan Nanu. Bagaimana kalau Merina melakukan hal sama dengan dirinya? Ah, gadis mungil itu sungguh tak berdaya.

Ketika pintu terbuka, seperti ada cahaya tertutup gelap. Dua wanita bercadar membawa nampan.

“Assalamualaikum. Alhamdulillah, Ukhti sudah sadar.” Satu di antara wanita itu berbicara. Satunya lagi hanya tersenyum. Memang tidak nampak guratan senyum di bibir. Tapi gerak alisnya mengatakan seperti itu.

“Waalaikumussalam. Maaf, saya bukan Ukhti. Nama saya Nuha. Kalau boleh tau, saya berada di mana?”

Kedua wanita tersebut menunjukkan kecantikannya. Mereka kompak membuka cadar. Lalu tersenyum manis. Belum pernah Nuha melihat senyuman tulus seperti ini sebelumnya.

“Maksudnya, Ukhti itu artinya ‘Mbak’.” Wanita satunya, yang tadi tak bersuara sekarang menjawab.

“Oh, maaf saya tidak tahu. Sebelumnya, terima kasih banyak atas pertolongannya. Kalau boleh tau siapa nama kalian?”.

“Nama saya Yumna, dan ini Mbak Sarah. Kemarin kami menemukanmu di jalan.”

Belum lama percakapan kami berlangsung, datang satu orang laki-laki dan satu wanita lagi. Mereka mengucap salam bersamaan. Kami bertiga serentak menjawabnya.
Kening Nuha sedikit berkerut. Bertanya-tanya siapa keempat orang ini. Wanita yang datang bersama laki-laki itu tidak mengenakan cadar.

“Alhamdulillah Nona sudah sadar. Mereka bertiga adalah istri saya.” Laki-laki itu tersenyum dengan amat bersahaja.

Dengan nada gugup Nuha berterima kasih sekali lagi. Awalnya, gadis malang itu canggung. Namun, setelah seperempat jam bercakap-cakap kehangatan seperti mampir di hati Nuha. Wanita bersama laki-laki itu adalah istri pertamanya. Mereka memanggilnya Hanum. Laki-laki itu sendiri bernama Rayyan.

“Jadi, Ustad Rayyan mengenal Papa saya?” Nuha tergesa-gesa melontarkan pertanyaan. Demi memastikan dia bersama orang baik. Setelah tadi cukup lama berbincang.

“Tentu saja, bahkan saya rutin datang ke perusahaan almarhum untuk memberikan ceramah.”

Nuha bernapas lega. Walau kesedihan sedikit tak terbantahkan dari dalam hatinya. Bagaimanapun dia merasa bersyukur bersama orang yang tepat.

“Sebaiknya kita semua keluar dulu, biar Nona Nuha bisa sarapan,” ajak Rayyan.

“Benar, jangan lupa minum obatnya, lalu istirahat Mbak.” Dengan ramah Yumna mengingatkan.

“Kami keluar dulu, Mbak. Kalau butuh apa-apa tinggal panggil kami menggunakan telepon itu.” Sarah menunjuk sebuah telepon menempel pada dinding.

Keempat langkah itu seperti cahaya yang berjalan bersama. Seorang laki-laki yang beruntung mendapatkan tiga bidadari sekaligus dalam hidupnya. Nuha tersenyum. Tapi dia sendiri tidak mengerti senyum untuk apa. Sementara kemelut masih menghujani batinnya.






Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 16, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Nuha binti ZafranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang