Singto berjalan cepat ke dalam bangunan yang bertuliskan "Fakultas Ekonomi". Ia hanya membalas sekadarnya ketika sekali dua orang menyapa. Tersenyum tipis mengisyaratkan sedang tidak ingin diganggu. Untuk saat ini, fokusnya hanya pada satu orang yang sejak tadi tak kunjung ia temukan. Namun tidak masalah, ia terlalu bersemangat sehingga melupakan fakta bahwa bisa saja ia langsung menghubungi orang itu dengan ponsel canggihnya tanpa harus bersusah payah mencari.
Senyum di wajah Singto mengembang saat berhasil menemukan seseorang yang sejak tadi ia cari, orang tersebut sedang asik melahap makanan di hadapannya. Tanpa membuang waktu, Singto berjalan mendekat, duduk di sampingnya dan menyambar minuman orang itu. Sama sekali tidak perduli dengan tatapan tajam sang empunya yang merasa terganggu.
Merasa diperhatikan, Singto menoleh. "Apa?"
Orang tersebut mendengus, "Apa? Apa? Kau hampir menghabiskan minumanku!" percuma, toh Singto tidak mengacuhkan dan hanya membalas dengan cengiran.
"Singto, berhentilah mengganggu Krist." Oh, mungkin Singto lupa bahwa ada seorang perempuan di hadapan mereka—ia dan Krist, seseorang yang sedang makan—yang sejak tadi memperhatikan dengan tatapan malas.
"Nana, apa kau tahu mengapa pipi Krist seperti bakpao?" tanya Singto sambil mengelus pipi Krist yang semakin menggembung karena sedang makan. Nana—perempuan tadi—kembali menatap Singto dengan pandangan malas. Nana tidak mengerti apa yang salah dengan otak sahabatnya ini.
Krist sudah tidak tahan lagi, "Apa yang kau inginkan?" sambil berusaha menjauhkan dirinya dari tangan jahil Singto.
Singto mengeluarkan cengirannya, "Kalian sudah tidak ada kelas lagi kan? Temani aku menonton, New mengatakan film horor yang terbaru kali ini sangat bagus,"
Nana berdecak, "Kau dan otak bodohmu. Kau kan tahu setiap menjelang akhir pekan aku harus membantu ibuku di toko. Dan ngomong-ngomong besok adalah akhir pekan."
"Hahaha! Maaf aku lupa, berarti hanya aku dan Krist saja?"
Krist membuka suara, "hei, seingatku, aku belum mengiyakan ajakanmu. Dan berhentilah mencubit pipiku!" Krist meninju lengan Singto namun Singto tetap berusaha mencubit pipi Krist lalu dimulailah pertengkaran tidak penting mereka. Nana memijat dahinya, ia bisa mati muda jika terus menghadapi sahabatnya.
"Kau seperti sengaja, Singto." ucapan Nana mampu membuat Krist dan Singto yang sedang bertengkar langsung berhenti dan menoleh dengan bingung.
Nana berdeham, "Kalau kau ingin pergi hanya dengan Krist harusnya kau langsung mengatakannya saja. Tidak perlu repot mengajakku,"
Hening... baik Singto maupun Krist melirik satu sama lain. Apa Nana salah memakan sesuatu tadi? Mengapa ia menjadi aneh?
Singto menggaruk kepalanya yang tidak gatal, "Apa maksudmu?"
"Kau ini benar benar..." Nana sengaja menghela napas dengan kasar lalu meninggalkan Krist dan Singto yang masih tidak mengerti dengan ucapannya.
"Biarkan dia. Tapi kau harus tetap menemaniku, oke?" Singto merangkulkan tangannya ke pundak Krist. Krist menghela napas, yah, mau bagaimana lagi?
***
Singto dan Krist memutuskan untuk pergi ke bioskop terdekat. Sejak mereka sampai Singto sudah sibuk sekali: membeli popcorn dan tiket lalu menanyakan ini itu ke pada Krist.
"Krist, apa kau lelah? Sini tasmu," lalu mengambil tas Krist dan membawanya.
Saat ada sekelompok remaja perempuan yang memperhatikan Singto sambil berdecak kagum, Singto berkata dengan gede rasa, "Krist, aku sangat tampan sekali. kau beruntung memiliki teman sepertiku." Sambil merapikan tatanan rambutnya.
Sebentar-sebentar "Krist?"
"Krist?"
"Krist?"
"KRIST!"
PLAKK
Krist memukul kepala Singto dengan cukup keras. "Ada apa kau ini?! Berisik sekali!"
Singto mengusap kepalanya, "Karena sejak tadi kau diam saja."
"Astaga, itu karena filmnya akan dimulai, Singto!" Singto nyengir tanpa merasa bersalah lalu ikut memperhatikan layar raksasa di hadapannya.
***
"Aku tidak akan menonton film bersamamu lagi!" Seru Krist sambil meninju lengan Singto kesal. Diperlakukan seperti itu malah membuat Singto tertawa keras sekali, ia tahu sahabatnya ini memang bukan orang yang penakut namun film yang mereka saksikan tadi adalah film horor yang memiliki banyak adegan sadis. Dan Krist sangat membenci itu.
"Kau kan mau menemaniku.."
"Iya tapi kau memaksa!" Singto nyaris meledakan tawanya sebelum ia sadar bahwa Krist sedang menatapnya tajam. Singto langsung menutup mulut dan sekuat tenaga menahan tawa.
"Baiklah, bagaimana jika kubelikan kau ice cream? Hahaha!" Kali ini Singto tidak bisa menahan tawa dikarenakan hanya dengan mendengar kata "ice cream" raut wajah Krist langsung berubah sangat cerah, seolah sebelumnya bukan dirinya yang marah.
Krist tersenyum senang, "Tapi aku bisa memilih apa saja yang aku inginkan, deal?" Singto yang masih tertawa hanya membalas dengan anggukan lalu merangkul pinggang Krist.
Lalu Krist dan Singto kembali berjalan menuju kedai ice cream. Barulah Krist menyadari sesuatu, sejak tadi tangan Singto tak lepas dari pinggangnya.
***
Krist dan Singto memutuskan untuk duduk di bangku taman sekitar mall yang mereka kunjungi tadi sambil memakan ice cream dan memperhatikan orang yang lalu lalang di hadapan mereka. Hanya keheningan yang menemani keduanya. Terkadang yang kita butuhkan hanyalah keheningan, seakan tanpa perlu berbicara sudah dapat memahami diri satu sama lain.
Tertawa saat melihat sepasang kekasih sedang asik bercanda, tersenyum saat melihat keluarga yang sedang asik membahas sesuatu, dan meringis saat melihat ada sekelompok anak remaja yang bertengkar.
Singto menoleh memperhatikan wajah Krist. Sudah sejak dulu menatap wajah Krist menjadi kegiatan favoritnya. Menurutnya wajah Krist sangat manis melebihi Nana—Mungkin. Singto mendengus geli, Nana akan meninjunya jika mendengar hal ini.
Mendengar sesuatu dari sebelahnya membuat Krist menoleh, lalu ia dan Singto bertatapan. Selalu seperti itu. Saat mereka bertatapan, Krist merasa seolah ada hal yang ingin disampaikan oleh Singto. Melayangkan tatapan bertanya kepada Singto namun tidak kunjung mendapat jawaban, Krist berniat mengalihkan pandangan. Melihat pergerakan Krist, tangan Singto bergerak menahan wajah Krist. "Biarkan seperti ini sebentar saja," bisik Singto.
Lama Krist dan Singto bertatapan seperti itu sampai tiba-tiba terdengar gelak tawa dari sekelompok remaja di sekitar mereka, seakan menyadarkan keduanya apa yang sejak tadi terjadi. Krist berdeham, cepat-cepat berdiri, "Sudah malam. Sebaiknya kita pulang." lalu berjalan meninggalkan Singto.
Singto tersenyum lalu bangkit untuk menyusul Krist. Ah, seandainya Singto tahu bahwa semburat merah muncul di wajah Krist yang berusaha menyembunyikan senyumnya.
TBC
Terimakasih telah membaca, jangan lupa untuk vote dan komen. :)
- M.
cr pic: on the pic.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Million What IF
RomanceSeandainya.. aku tidak terpesona dengan mata coklatnya. Seandainya.. aku bisa memberantas perasaan yang hadir setiap ia menatapku. Seandainya.. cinta dapat memilih tempat untuk bermuara. Seandainya.. ia bukan sahabatku. "Mungkin.. pertemanan adal...