Singto menoleh memperhatikan wajah Krist. Sudah sejak dulu menatap wajah Krist menjadi kegiatan favoritnya. Menurutnya wajah Krist sangat manis melebihi Nana—Mungkin. Singto mendengus geli, Nana akan meninjunya jika mendengar hal ini.
Mendengar sesuatu dari sebelahnya membuat Krist menoleh, lalu ia dan Singto bertatapan. Selalu seperti itu. Saat mereka bertatapan, Krist merasa seolah ada hal yang ingin disampaikan oleh Singto. Melayangkan tatapan bertanya kepada Singto namun tidak kunjung mendapat jawaban, Krist berniat mengalihkan pandangan. Melihat pergerakan Krist, tangan Singto bergerak menahan wajah Krist. "Biarkan seperti ini sebentar saja," bisik Singto.
Lama Krist dan Singto bertatapan seperti itu sampai tiba-tiba terdengar gelak tawa dari sekelompok remaja di sekitar mereka, seakan menyadarkan keduanya apa yang sejak tadi terjadi. Krist berdeham, cepat-cepat berdiri, "Sudah malam. Sebaiknya kita pulang." lalu berjalan meninggalkan Singto.
Singto tersenyum lalu bangkit untuk menyusul Krist. Ah, seandainya Singto tahu bahwa semburat merah muncul di wajah Krist yang berusaha menyembunyikan senyumnya.
.
.
.
"Bagaimana kencanmu kemarin?" Nana menghampiri Krist dan duduk di sampingnya lalu mempersiapkan buku catatan yang ingin digunakan karena kelas akan segera dimulai.
Krist pun sama, ia sibuk mencari alat tulis di dalam tasnya, "Kencan? Siapa?"
Memutar bola matanya malas, Nana melanjutkan, "Kau dan Singto. Siapa lagi?"
Sambil mendengus Krist menjawab, "Kencan apa? Kau bilang pada sahabatmu itu, aku tidak akan memenuhi ajakannya lagi!"
Nana tergelak, "Apa yang terjadi? Hei, ia sahabatmu juga!"
Melihat Krist seperti tidak berniat menjawab, Nana kembali berujar, "Ah, aku tahu. Pasti filmnya sadis ya? Payah sekali kau, Krist! Ahahaha!" Krist hanya menutup mulutnya rapat, enggan menanggapi ucapan sahabatnya itu.
Obrolan Nana dan Krist terpotong karena dosen yang mengajar kelas mereka datang. Seisi kelas mendadak hening. Mereka semua paham untuk tidak mencari masalah dengan dosen mereka yang satu ini. Bukan hanya mata kuliah yang beliau ajarkan susah tetapi beliau juga sangat galak sekali. Pernah sekali ada seorang mahasiswa yang dengan santainya tertidur pada jam mata kuliah ini, lalu dengan santai pula dosen itu memberi nilai F. Sekali lagi, nilai F.
Dua jam berlalu, dalam beberapa menit waktu kuliah akan berakhir. Diam-diam Krist melirik Nana yang sudah seperti tidak memiliki raga, memasang tampang menyimak padahal sudah ngantuk sekali nyaris pingsan. Krist berusaha sekali untuk tidak tertawa. Karena keadaan dirinya pun tidak jauh beda. Ia sudah seperti ingin mati saking bosannya.
"Ya, itu saja untuk hari ini. Kita akan bertemu lagi di pertemuan berikutnya. Terimakasih."
Ah... apakah itu suara dari surga? Krist bersyukur sekali tidak benar-benar tidur. Entah apa yang akan didapatkannya jika ia memutuskan untuk tidur tadi.
Sambil membereskan buku catatannya, Krist memulai kembali obrolannya dengan Nana yang terpotong, "Hei, bagaimana menurutmu? Jika ada seorang sahabatmu yang senang sekali menatap wajahmu? Dan orang itu juga sering merangkul pinggangmu?"
Nana berkata cuek, "Kenapa? Singto melakukan semua itu padamu?"
Mata Krist terbelalak kaget, "Kenapa Singto?"
"Yah, kau kan tidak memiliki banyak sahabat, jadi aku berasumsi saja."
Krist menoyor kepala Nana kesal, sahabatnya ini kalau berbicara seenaknya saja. "Jahat sekali! Aku kan hanya bertanya..."
KAMU SEDANG MEMBACA
A Million What IF
RomanceSeandainya.. aku tidak terpesona dengan mata coklatnya. Seandainya.. aku bisa memberantas perasaan yang hadir setiap ia menatapku. Seandainya.. cinta dapat memilih tempat untuk bermuara. Seandainya.. ia bukan sahabatku. "Mungkin.. pertemanan adal...