"Krist, dengarkan aku. Satu kebodohan yang kau lakukan, aku pastikan kau akan kehilangan Singto."
Krist tertegun. Apakah ia akan kehilangan Singto selamanya? Dan.. apakah ia sanggup?
.
.
.
Kepala Krist terasa sangat berat sekali. Mengukur dari matanya yang masih ingin terpejam, ia tahu bahwa ia sudah telat. Suhu badannya sangat tinggi dan hidungnya tersumbat, ia terserang flu dan demam. Hasil dari perbuatannya semalam. Krist mulai menyesal karena tidak mendengarkan Nana untuk segera ganti baju dan istirahat. Ia malah sibuk melamun dan memutuskan untuk pulang saat jam di dinding menunjukan pukul 12 malam.
Krist menyerah. Badannya benar-benar tidak bisa bekerja sama. Jika ia bergerak sedikit, maka kepalanya akan berdenyut menyakitkan. Krist meraih ponselnya lalu mengirim pesan kepada Nana, mengabarkan keadaanya. Setelah selesai dengan urusannya, Krist melempar ponselnya begitu saja lalu melanjutkan tidurnya yang tertunda.
Mungkin sudah sekian jam Krist tidur. Ibunya pun memutuskan untuk membiarkan, tahu benar tabiat Krist yang justru akan mengamuk jika dibangunkan.
Seseorang masuk ke dalam kamar Krist dengan diam lalu memperhatikan Krist. Krist bergerak gelisah dalam tidurnya. Peluh membanjiri tubuh Krist, mengalir dari dahi dan membanjiri wajah manisnya. Orang itu dengan cekatan mengusap keringat Krist lalu mengganti kompres di dahinya.
Krist mulai meracau. Mungkin ini efek dari demam yang belum kunjung turun. Krist bahkan belum meminum obatnya. Tangan Krist mencengkram selimut yang ia pakai. Kakinya bergerak gusar. Seseorang yang bersama Krist sejak tadi sedang berpikir, haruskah ia membangunkan Krist sekarang?
Sebelum orang itu sempat membangunkan Krist, Krist sudah teriak dan langsung terduduk, "SINGTO!!!!!!!!"
Orang yang bersama Krist melongo, "Ada apa kau memanggilku?" Ya. Orang tadi adalah Singto. Setelah mengetahui keadaan Krist melalui Nana, Singto langsung pergi menuju rumah Krist. Sama sekali tidak perduli dengan kuliahnya. Siapa yang kemarin bersumpah tidak akan menemui Krist lagi?
Mulut Krist menganga lalu menatap horor Singto, "Kenapa kau bisa di sini?" Krist terkejut sekali, ia tadi memang memimpikan Singto, tapi ia sama sekali tidak berharap Singto benar-benar hadir di hadapannya. Krist tiba-tiba saja mencengkram kepalanya yang berdenyut. Efek karena ia mendadak bangun dan langsung duduk.
Singto yang melihat itu hanya diam lalu bangkit. Walaupun sebenarnya ia penasaran mengapa Krist memanggil namanya tadi. Beberapa menit kemudian ia kembali dengan membawa nampan yang berisi semangkuk bubur, segelas air putih, dan juga obat untuk Krist.
Singto menaruh nampan di meja nakas, mengatur posisi bantal, dan mendorong pelan badan Krist agar bersandar. Setelah itu, Singto mengambil mangkuk bubur tadi lalu menyuapi Krist.
"Aku bisa makan sendiri!" Protes Krist. Namun Singto tidak mengatakan apapun dan tetap memaksa Krist memakan makanannya.
10 menit kemudian Krist telah menghabiskan bubur dan meminum obat. Singto memperhatikan Krist yang sedang memijat kepalanya. Singto mengatur kembali tumpukan bantal Krist, "Berbaringlah," perintahnya.
Krist memandang Singto tidak mengerti namun tetap membaringkan badannya. Setelah Krist berbaring sempurna, Singto memijat leher dan tengkuk Krist dengan pelan. Krist terkejut tentu saja, ia menjadi sangat canggung sekali. "Hei, tidak usah. Aku tidak apa-apa,"
Singto tetap tidak menjawab dan memilih melanjutkan kegiatannya. Krist semakin canggung dan menjadi bergerak tidak nyaman. Singto menangkap gelagat itu, "Diamlah!"
KAMU SEDANG MEMBACA
A Million What IF
RomanceSeandainya.. aku tidak terpesona dengan mata coklatnya. Seandainya.. aku bisa memberantas perasaan yang hadir setiap ia menatapku. Seandainya.. cinta dapat memilih tempat untuk bermuara. Seandainya.. ia bukan sahabatku. "Mungkin.. pertemanan adal...