Nana terisak semakin kencang. Ia juga merasakan sakit. Ia tidak rela jika hubungan kedua sahabatnya harus berakhir seperti ini.
Diam-diam Singto menyusut air mata yang mengalir dari matanya. Ikut menangis bersama Nana. Ia tidak menahan apapun. Pertahanannya runtuh sejak nama Krist disebutkan.
Tidak. Ini belum berakhir. Singto berjanji akan mendapatkan Krist. Mendapatkan kebahagiaannya.
.
.
.
"Sudahlah..." Singto berkata pelan. Percuma toh ia juga ikut menangis. Singto hanya tidak ingin orang lain merasakan sakit seperti yang ia rasakan. Cukup ia saja. Singto rela. Tidak apa-apa.
Nana memeluk Singto semakin erat. Ia begitu mengenal Singto untuk tahu sedalam apa perasaan sahabatnya itu. Singto sangat tulus. Ia tidak menuntut apapun. yang Singto inginkan hanyalah kebahagiaan Krist. Tidak lebih.
"Aku akan mencoba untuk berbicara pada Krist. Aku harus menyelesaikannya kan?" tanya Singto setelah mampu mengendalikan dirinya.
"Tidak.. aku yang salah.. aku saja.." Nana masih belum mampu menghentikan tangisnya. Ia begitu merasa bersalah pada Singto dan juga Krist.
Singto tersenyum lalu mengusap kepala Nana lembut, "Tidak. Kau sudah melakukan yang terbaik. Terimakasih untuk sahabatku yang—terkadang—sangat cantik. Hahaha~"
Nana memukul pelan bahu Singto lalu tertawa.
Singto menerawang. Ah, sudah berapa malam ia habiskan hanya untuk meratap?
***
Krist dan Nana sedang berada di kelas. Mereka sedang belajar untuk test yang akan dilaksanakan usai jam makan siang. Mungkin tidak hanya Krist dan Nana, hampir seluruh mahasiswa yang lain sedang komat kamit menghapalkan materi. Sama sekali tidak ingin mengulang.
Krist memperhatikan Nana yang sejak tadi tidak ingin menatapnya. Sahabatnya itu hanya merespon ucapannya jika benar-benar penting. Lalu kembali diam. Nana itu sangat berisik. Jika ia diam maka pastilah sesuatu yang tidak mengenakan telah terjadi padanya.
"Nana?"
"Hm?"
"Katakan padaku, siapa yang sudah memukul wajahmu?" Krist tidak bisa disalahkan karena telah bertanya seperti itu pada Nana. Hanya dengan sekali melihat, kalian akan berpikir bahwa gadis itu habis berkelahi. Wajah Nana bengkak dan matanya sembab.
Nana mendengus. Tidak ada niat untuk menjawab pertanyaan Krist. Ia hanya lelah dan ingin segera tidur. Sepulangnya ia dari rumah Singto, Nana tidak bisa tidur sama sekali. ia kembali menangis dalam diam dan baru bisa tidur ketika jam menujukan pukul tiga dini hari. Jelas saja ia sangat mengantuk.
Jika Nana sangat memahami Krist, maka Krist juga sangat memahami tabiat Nana. Ia sedikit banyak bisa menduga jika terjadi sesuatu pada Nana. Krist tertegun. Pikirannya tertuju pada satu orang. Bisa saja memang berhubungan dengan orang itu.
Belum sempat Krist bertanya, seorang gadis menghampiri mereka berdua. "Hei!"
Nana menoleh, May sedang berada di hadapannya. Tapi mengapa gadis itu terlihat senang sekali?
"Apa kalian melihat Singto?" May bertanya dengan ramah.
Tepat ketika nama orang itu disebut, Krist merasa seperti tersengat aliran listrik. Punggungnya menegak siaga tapi ia tidak mengatakan apapun.
Nana menangkap gelagat Krist namun tidak memperdulikannya, "Biasanya ia sedang makan siang sekarang. Ah, kenapa kau tidak menelponnya saja?"
May menepuk jidatnya, "Kenapa tidak terpikir olehku ya? Boleh aku minta nomor ponselnya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
A Million What IF
RomanceSeandainya.. aku tidak terpesona dengan mata coklatnya. Seandainya.. aku bisa memberantas perasaan yang hadir setiap ia menatapku. Seandainya.. cinta dapat memilih tempat untuk bermuara. Seandainya.. ia bukan sahabatku. "Mungkin.. pertemanan adal...