Bagian 1.

14.1K 389 15
                                    

"Mba, seharusnya kamu mengerti, kamu juga perempuan. Saya dan Mas Hanung sudah pacaran lima tahun."

Wanita yang terlihat lebih muda dariku itu, menatap dengan wajah merah padam. Entah marah atau malah frustasi sebab seminggu lagi, aku dan kekasihnya akan menikah. Kami ... dijodohkan.

Jujur, aku pun sebenarnya bisa merasakan kesedihannya. Tapi apa mau dikata. Aku tidak punya pilihan selain menuruti orang tuaku. Jadi, aku hanya menunduk. Tak tau harus menjawab apa.

"Kamu cantik, Mba. Kamu bisa dapat laki-laki yang lebih baik dari Mas Hanung. Plis ... jangan begini."

Kali ini gadis itu terisak hingga hatiku ikut sakit mendengarnya.

Cukup lama kami hanya berdiam diri. Tenggelam dalam fikiran masing-masing hingga akhirnya kata-kata itu meluncur dari mulutku.

"Kalau kamu emang gak bisa ninggalin Mas Hanung, aku ikhlas kalau dia menikahimu juga. Jadilah maduku."

"Omong kosong!" bentaknya. Lalu dengan kasar, ia mendorong kursinya dan berlalu dari hadapanku.

Munafik. Ditawarin sok gak mau.

Tak lama, aku pun beranjak meninggalkan kafe. Tentunya setelah membayar semua tagihan.
-------------

Nindiya namaku. Umur sudah kepala tiga. Karena itulah ayahku yang sedang sakit keras ingin segera melihatku menikah. Setelah lelah menunggu calon menantu yang tak kunjung kubawa pulang, akhirnya ia berinisiatif sendiri mencarikan jodoh. Anak sahabatnya.

Itulah Mas Hanung.

Bagiku, lelaki itu biasa saja. Aku bahkan sering bertemu dengan pria yang jauh lebih tampan darinya. Mungkin akunya saja yang sulit jatuh cinta hingga berpacaran pun, aku tidak pernah. Masih perawan ting-ting.

Sebenarnya aku belum ingin menikah. Tapi desakan dari segala penjuru membuatku berfikir, ya ... mungkin dialah jodohku. Toh tidak jelek juga.

Pertemuan pertama kami bahkan tidak meninggalkan kesan apapun. Jelas, dia juga menolak perjodohan ini. Aku bisa melihat dari raut wajahnya. Mungkin sama sepertiku, ia juga tidak mampu membantah orang tua.

Kami hanya saling diam saat semua orang mencoba memberi waktu untuk sekedar mengobrol.

"Kalau terpaksa, ya jangan mau! Laki-laki kok cemen." Aku yang saat itu mulai kesal, mencoba berbicara padanya.

Laki-laki itu malah menatapku jengkel.

"Kamu, kenapa mau? Gak laku?"

Eeh ... tambah ngeselin aja nih orang!

"Sembarangan!" Hanya kata itu yang keluar, sebab hati kecilku sedang membenarkan tuduhannya. Mungkin benar, gak laku.

Hanya segitu obrolannya. Tak ada acara tukar menukar nomor ponsel. Hingga setelah bulan dan tanggal pernikahan sudah ditetapkan oleh para tetua pun, kami belum menjalin komunikasi.
---------

Sudah dua hari berlalu setelah pertemuanku dengan Surti, si gadis setia yang masih berharap kekasihnya batal menikah denganku. Sedikit banyaknya, pertemuan itu membuatku goyah.

Haruskah aku melanjutkan pernikahan ini? Atau mengalah demi dua sejoli yang saling mencintai? Ah ... rasanya, aku seperti tokoh antagonis saja.

"Ada apa, Nin?" sapa ayah saat mendapatiku melamun, menatap rembulan di luar jendela.

Aku hanya menggeleng.

"Percayalah, Nak. Witing tresno jalaran soko kulino. Hanung itu anak yang baik. Ayah tau bagaimana ia dididik orang tuanya."

Seakan mengerti kegundahanku, ayah mendekat dan membelai pucuk kepala. Andai ibu masih hidup, mungkin beliau akan melakukan hal yang sama.

"Tapi, Yah ...  Mas Hanung itu sudah ...."

"Hanung belum menikah," potongnya. "Bahkan jika dia sudah menikah, ayah tetap ingin menjadikan dia suamimu."

Apa?

Pernyataan macam apa itu?

Ayah egois!

Tapi, ya sudahlah. Walau hatiku yakin akan banyak badai menanti biduk rumah tangga ini, kalau ayah sudah berkata begitu, aku bisa apa?
---------

Dan tibalah hari bersejarah itu. Hari di mana aku resmi dipersunting oleh Hanung handoko. Laki-laki yang mungkin lupa bagaimana cara tersenyum di hari pernikahannya sendiri.

Tidak masalah. Toh aku juga tidak akan tersakiti. Aku hanya perlu mengabdi jadi istri sah yang baik, seperti kata ayah.

Maafkan aku, Surti! Kutikung kau dengan Bismillah.


Suamiku Belum MoveonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang