Bagian 7.

5.6K 368 8
                                    

Sinar matahari sudah tidak terlalu menyengat saat aku berdiri di depan rumah ayah. Baru dua bulan lebih kutinggalkan, namun rasa rindu sudah seperti merantau bertahun-tahun.

Tidak kudapati seorang pun. Mungkin ayah masih di kantor. Kubuka pagar dengan kunci milikku, dan langsung masuk begitu saja, seperti biasa.

Aku hendak menuju kamarku. Namun langkah kaki terpatri di depan kamar ayah. Pintunya sedikit terbuka. Sebuah pigura yang tergeletak begitu saja di ranjang, menarik perhatianku. Rasanya, aku belum pernah melihat pigura yang ini terpajang di mana pun.

Aku melangkah ke dalam, otak yang sudah penuh dengan Surti kini harus kembali diisi dengan memori baru. Itu adalah gambar seorang wanita yang sangat cantik. Usianya pasti jauh lebih muda dari ibuku yang telah menutup usia di angka 46 tahun. Rasanya, aku tidak pernah melihat wanita ini.

Sebuah prasangka muncul, apakah ... selama ini ayah punya simpanan? Kalau memang iya, Bukankah ayah sudah lama menduda dan tidak ada masalah jika harus menikah lagi? Toh aku bukan anak kecil yang akan kelimpungan jika punya ibu tiri.

Ah! Lelaki sama saja.

Saat ini aku hanya ingin menenangkan diri. Kutinggalkan kamar ayah dengan menutup pintunya kemudian bergegas ke kamarku.

Belum sempat merebahkan diri melepas lelah seharian, ponselku menjerit. Kuraih benda itu di dalam saku namun alangkah terkejutnya saat mendapati itu bukan milikku. Tapi milik Surti. Pastilah tadi aku lupa meletakkannya kembali.

Sebuah nama tertulis di layar. 'Tante Velisha'. Batin sedikit bergejolak antara harus menjawabnya atau tidak. Setelah nada panggil berakhir, barulah aku menyesal.

Kenapa tadi tidak di jawab saja? Siapa tau orang ini bisa menggantikan suamiku menjadi walinya Surti di rumah sakit. Tabungan Mas Hanung pasti bisa diselamatkan sebab bunuh diri tidak bisa di'cover' BPJS.

Jantungku melompat saat benda itu kembali bergetar. Masih dengan penelepon yang sama. Segera kuangkat.

"Halo?"

"..."

"Halo ...?"

"..."

"Kamu budeg apa gak bisa ngomong? Kamu siapanya Surti? Dia lagi di rumah sakit sekarang!" Emosiku yang belum stabil kembali terpancing.

"Ru ... rumah sakit? Rumah sakit mana? Dia kenapa?" Akhirnya ia menjawab. Suaranya terdengar seperti suara wanita dewasa pada umumnya. Entah dengan usianya. Karena cuma orang sakti yang bisa menebak usia hanya dari suara di telepon. Dari gelagatnya, wanita ini agak judes. Nadanya bicaranya mirip Tante Meriam Bellina saat memainkan peran antagonis.

"Rumah sakit Xx. Mba ini siapanya Surti?" Aku balik bertanya.

"Saya ... sulit menjelaskannya lewat telepon. Kalau Mba ini, siapanya dia?" Nadanya masih sama.

"Saya ... saya juga bingung saya ini siapanya," jawabku. Tak mungkin kujelaskan hkerumitan hubunganku dengan Surti. Bisa habis pulsa si Tante Velisha ini nantinya.

"Apa ... suami Mba juga digoda sama dia?"

Pertanyaannya cukup memberikan efek kejut jantung. 'Juga digoda'? Artinya, wanita ini merasa kalau Surti sudah menggoda suaminya, bukankah begitu, pemirsa?

Otakku langsung terarah pada kehamilan Surti. Mungkinkah ini jawabannya? Lelah mengejar Mas Hanung, Surti melampiaskan amarahnya dengan mencoba menjadi pelakor yang sesungguhnya. Setidaknya begitu lebih baik daripada harus membayangkan janin itu milik suamiku.

"Mba ...." Suara wanita itu menyadarkanku.

"Ya?"

"Jadi benar ...?"

Suamiku Belum MoveonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang