Bagian 4.

5.7K 296 8
                                    

Apa sebenarnya yang kutangisi? Kenapa dada ini sesak sekali?

"Nindiya ... Nindiya ...! Buka pintunya. Kita belum selesai bicara!"

Terdengar suara Mas Hanung diiringi gedoran pintu. Kubekap mulutku sendiri agar tangis tidak semakin pecah.

"Ayolah Nin," bujuknya. Tapi tidak kuacuhkan. Saat ini, aku hanya ingin sendirian. Mencari kembali diriku yang biasanya, sebab ini bukanlah diriku.

------

"Aku berangkat kerja. Jangan lupa sarapan!"

Terdengar suara berat khas Mas Hanung dari balik pintu kamar. Aku yang masih bergelung di bawah selimut, masih enggan mengeluarkan suara. Setelah deru mobilnya menghilang, barulah aku bangkit dari peraduan.

Rasanya tak percaya saat menatap bayanganku sendiri di dalam cermin. Hancur. Apa benar begini yang namanya patah hati? Makan tak enak, tidur tak nyenyak. Kulirik jam di dinding, sudah pukul delapan.

Kuputuskan untuk menelpon Arimbi, orang kepercayaanku di salon. Saat ini aku tidak punya gairah untuk ke sana. Tapi, di rumah sendirian juga tidak enak. Masih terbayang-bayang di mata, bagaimana Surti menggenggam erat tangan suamiku kemarin.

Setelah puas tidur-tiduran, pukul sebelas siang perutku mulai terasa lapar. Awalnya aku ingin memesan makanan lewat aplikasi ojek online saja. Tapi setelah dipikir lagi, mungkin lebih asik kalau makan sekalian belanja di mall.

Entah kebetulan atau memang takdir yang menuntun. Saat kaki menapaki pintu depan sebuah pusat perbelanjaan, aku tak sengaja menabrak seorang wanita yang mengenakan seragam khas SPG. Ia kaget, begitupun aku. Namun tak ada yang sudi meminta maaf.

"Kita harus bicara, Mba Nindiya!" katanya dalam suara yang bergetar.

"Aku rasa tidak ada yang perlu kita bicarakan!" balasku. Langsung kutinggalkan gadis muda itu namun ia malah mencekal tanganku.

"Ayolah, Mba! Kita butuh bicara ... sebentar saja," ulangnya.

Kulepas tangannya kasar. "Sabarlah, aku mungkin akan minta cerai dari Hanung. Tapi belum sekarang. Pernikahan kami masih belum genap dua bulan." Akhirnya kuberi ia sebuah jawaban yang pastinya akan membuatnya puas.

"Tolonglah, Mba. Jangan bertingkah seolah dirimu korbannya!" sentaknya.

"Dan tolong jangan membuat dirimu jadi pusat perhatian!" balasku.

Surti tersadar. Ia kini menoleh ke kiri dan kanan, memang sudah ada beberapa pasang mata yang menonton kami.

Awalnya aku ingin menghindar. Tapi setelah dipikir lagi, untuk apa? Toh masalah ini tidak akan selesai kalau kami tidak bicara.

"Ikut aku!" Akhirnya kutarik saja lengannya keluar dari mall. Ia hanya menurut.

Kami akhirnya duduk di sebuah kafe. Setelah memesan dua jenis minuman berbeda, aku dan Surti kembali saling bersitatap. Tatapannya sulit diartikan. Yang jelas, gurat kesedihan masih tampak di wajahnya.

"Aku yatim piatu!" Ia memulai. Kulihat ia menunduk sambil memainkan kuku-kukunya.

"Lalu?" tanyaku.

"Di dunia ini ... aku ... cuma punya Mas Hanung." Mata yang ditutupi softlens itu, mulai berkaca-kaca. Setelah menggigit bibir, ia melanjutkan, "Awalnya ... aku kira aku akan bisa tanpa dia. Tapi nyatanya, aku ... tidak bisa, Mba!" Dan, air mata itu tertumpah sedikit demi sesikit.

Aku cukup tersentuh.

"Kalian tidak usah bercerai jika memang sulit menjelaskan pada keluarga. Aku rela, andai Mas Hanung hanya menikahiku secara siri ... diam-diam."

Aku menarik napas, merasakan sesuatu yang sesak tapi entah di bagian mana. Di satu sisi, aku tak akan sudi berbagi. Tapi di sisi lain, ah ... entahlah.

"Coba Mba tanya sama hati Mba, apa Mba mencintai dia? Bisakah Mba bikin dia bahagia? Kalau tidak, biar aku saja!"

Surti menggebu-gebu menjelaskan itu semua padaku. Aku rasa karena usianya yang masih sangat muda. Cinta ... Omong kosong semua itu.

Setelah Surti terlihat tenang, barulah kucoba untuk menasehatinya.

"Surti, berapa umurmu sekarang?"

" Sembilan belas, kenapa?"

"Kamu masih sangat sangat muda. Masih banyak laki-laki lain yang lebih baik dari Mas Hanung. Berbeda denganku yang bulan depan sudah 35 tahun."

"Jadi, intinya ...?"

"Kalau untuk menerimamu jadi madu, maaf. Sama sepertimu, aku pikir aku akan bisa berbagi. Tapi, nyatanya itu tidak mudah."

Pertahanannya mulai runtuh. Bendungan yang sudah penuh itu akhirnya jebol seketika, ia terisak.

"Seperti kataku tadi, aku mungkin akan bercerai. Tapi bukan dalam waktu dekat. Aku pun harus bicara dengan Hanung. Sabarlah ... tunggu sebentar lagi. Di belakangku, terserah kalian mau bertemu atau wikwik sekalipun ...."

"Mas Hanung bukan lelaki seperti itu!" potongnya segera.

Omong kosong! Siapa yang akan percaya? Pacaran lima tahun dan gak pernah melakukan apa-apa? Mas Hanung itu pacaran, apa ngasuh bocah?

"Jika kehormatanmu benar-benar masih terjaga, lalu untuk apa kamu mati-matian menjatuhkan harga dirimu seperti ini?"

Kulihat gadis itu tersenyum sumbang.

"Orang egois seperti Mba, gak akan ngerti!" desisnya. Lalu ia berdiri.

"Kamunya aja yang gatal! Aku cuma minta sabar sebentar. Apa susahnya?" Aku mulai kesal. Belum selesai aku bicara, Surti sudah berlalu meninggalkanku sendiri. Seperti waktu itu.

------

Langit belum terlalu gelap saat aku turun dari taksi online yang mengantarku pulang. Tidak biasa, Mas Hanung yang selalu pulang malam sepertinya sudah sampai di rumah lebih dulu. Mobilnya sudah terparkir rapi di garasi kecil kami.

Aku semakin bingung. Saat membuka pintu, lelaki yang masih mengenakan kemeja kerjanya itu, kini sibuk memindahkan barang-barang miliknya ke kamarku.

"Ngapain?" protesku. Jelas aku tidak suka dengan ini.

"Orang tuaku sebentar lagi sampai. Aku gak mau mereka banyak tanya," jelasnya. Tanpa memperdulikanku, ia melanjutkan aktivitasnya.

Mertua? Ya Tuhan ... semoga mereka tidak menginap.

----

Suamiku Belum MoveonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang