Bagian 5.

5.8K 442 12
                                    

"Orang tuaku sebentar lagi sampai. Aku gak mau mereka banyak tanya," jelasnya. Tanpa memperdulikanku, ia melanjutkan aktivitas.

Mertua? Ya Tuhan .... Apa lagi ini? Semoga saja mereka tidak menginap. Belum hilang sakit kepalaku gara-gara si Surti, sebentar lagi malah harus pasang wajah manis di depan mertua.

Segera kubantu Mas Hanung memasukkan pakaiannya ke dalam lemari. Asal masuk saja dulu. Rapi atau tidak nanti dipikirin.

"Kamu dari mana?" Tiba-tiba ia bertanya. Tak mendapat jawaban, ia letakkan setumpuk pakaiannya di dekatku. Kuraih, lalu kususun cepat-cepat ke dalam ruang yang sekiranya masih muat.

"Kamu ... ketemu Surti, kan?"

Ooh ... Gadis ganjen itu sudah lapor rupanya. Moodku langsung berubah seketika. Kuhentikan kegiatanku, lalu menoleh. Mencoba membaca wajahnya saat ini.

Mas Hanung, terlihat tidak suka dan penuh selidik.

"Ya. Tadi kami gak sengaja ketemu," jawabku pada akhirnya. Kulihat ia menarik napas dalam, kemudian membuangnya perlahan.

"Maafkan aku ..." lirihnya.

Maaf? Untuk apa?

"Kamu ini sebenarnya sehat gak sih, Mas? Pacaran lima tahun sama anak seumuran dia. Berarti, dari pertama kenal dia masih SMP. Iya, kan?" Kulanjutkan pekerjaanku. Sedangkan Mas Hanung berlalu beberapa saat, lalu kembali membawa beberapa helai handuk bersih yang terlipat rapi.

"Pantes aja mama sama papa kamu gak setuju," lanjutku.

Suamiku itu berdehem. Membersihkan tenggorokan atau malah membuang rasa gugup.

"Kedewasaan seseorang itu, tidak bisa dipatok dari umurnya!" sindirnya. Jelas sekali aku tersindir.

"Ooh ...." balasku singkat. Tak terasa semua barang-barang miliknya sudah terselamatkan. Tapi itu justru membuat atmosfer diantara kami semakin aneh. Udara kamar pun terasa panas.

"Jadi, sebenarnya mau kamu apa, sih?" tanyaku. Ya, kurasa lebih baik ditanyakan dulu orang ini maunya apa. Apa memang sudah kebelet pengen kawin sama Surti, atau bagaimana.

"Kalau kamu mau nikahin anak ingusan itu, silahkan. Tapi kita cerai dulu. Mumpung hubungan kita masih begini," pintaku. Kulihat mata sipitnya membulat. Setelah berhasil menguasai keterkejutannya, ia menatap tajam.

"Kita gak akan cerai, Nindiya!"

"Lah, jangan seenaknya gitu, dong! Aku juga berhak cari kebahagiaanku sendiri!"

Ia tersenyum aneh, lalu menggeleng. Saat aku bergidik menatapnya, perlahan ia mendekat seraya melepaskan dua buah kancing teratas kemejanya.

"Ma ... mau ngapain?" tanyaku gugup saat ia semakin dekat. Aku yang duduk di pinggiran ranjang, kini mulai beringsut ke tengah. Bukannya berhenti, ia malah terus dan terus maju dan entah bagaimana caranya, kini aku sudah terbaring di bawahnya. Ini sungguh tidak nyaman. Wajahku mulai panas dan jantungku rasanya ingin keluar dari rongga dada.

"Kita tidak akan bercerai, Nindiya! Tidak akan pernah. Dan masalah Surti, aku akan menjauhinya jika kamu ingin ...." lirihnya. Kemudian ia menciumku, perlahan.

Apaan ini?

Segera kudorong tubuhnya agar menjauh, namun ia tidak bergeming. Perasaan takut mulai menjalar.

"Le ... lepaskan!" jeritku tertahan. Malah deru napasnya terasa semakin panas di leherku. Tidak. Aku tidak mau. Saat aku mulai terisak, barulah ia sedikit memeberi jarak walau hanya untuk menatap wajahku yang sudah basah oleh peluh dan air mata.

"Kamu ... sebenarnya mau apa, sih?" desisku, masih dalam tangis yang tak kunjung mereda.

"Aku hanya ingin menerima kenyataan, bahwa jodohku adalah kamu, Nindiya. Bukan Surti atau perempuan manapun." Diusapnya wajahku dengan lembut hingga ketakutan yang tadi kurasakan mulai mereda secara perlahan.

"Nindiya ... cobalah percaya padaku," bisiknya. Kupejamkan mata saat ia kembali menciumku.

"Tu ... tunggu! Nanti orang tuamu datang."

"Aku bohong! Mulai sekarang, aku mau di sini!"

"Ap ...???"
-------

"Aku berangkat kerja dulu, istriku!"

Mas Hanung mengerling nakal, membuat wajahku lagi-lagi terasa panas. Saat ia tersenyum seperti itu, aku langsung terbayang kejadian tadi malam. Malu.

Kubalas ia dengan anggukan. Setelah mencium punggung tangannya, segera kututup pintu.

"Aku belum pergi kok pintunya sudah ditutup?" protesnya. Setelah puas tertawa, ia pun berlalu.

Rasanya nano-nano. Walau masih menyisakan sedikit rasa sakit, namun ada bunga-bunga bermekaran di hati. Aku merasa dihargai sebagai seorang istri, sebagai seorang wanita. Apalagi saat mengingat betapa sabarnya Mas Hanung. Dia bukan tipe lelaki pemaksa. Ia mengerti saat aku ketakutan. Mungkin ini belum masuk kategori cinta. Tapi, aku ingin menjalaninya.

Mas Hanung memang selalu menawarkan diri untuk mengantarku ke salon, namun aku menolak. Arah kami berlawanan. Aku lebih memilih naik kendaraan umum atau ojol saja.

Dengan semangat, aku merapikan rambut sebelum keluar rumah. Ojol yang kupesan sepertinya belum datang. Saat nada notifikasi ponselku berdering, aku kira itu dari bang ojol. Ternyata dari sebuah nomor yang tidak dikenal.

[Di dunia ini, aku cuma punya satu tempat berlindung. Satu tujuan. Satu harapan. Dia matahariku. Udaraku.

Mas Hanung.

Tanpanya, untuk apa aku hidup?]

Lebih mengejutkan lagi saat nomor itu mengirimiku sebuah foto. Ya, gadis itu sudah menyayat nadinya. Darahnya sudah mengalir membasahi pakaian yang ia kenakan.

Apa yang harus kulakukan?

Dengan tangan gemetar, kucari nomor kontak suamiku dan segera meneleponnya. Untunglah ia segera menjawab.

"Aku masih nyetir, nih. Ada apa, sayang?"

"Su ... Surti, Mas! Ayo kita ke rumahnya sekarang. Di ... dia bunuh diri!!"

Tanpa sadar, aku sudah menangis dan mengabaikan seorang supir ojol yang terlihat kebingungan.

"Aku telepon ambulan saja biar jemput dia. Kita sama-sama tunggu di rumah sakit."

Sambungan telepon terputus. Kuhampiri bang ojol dan segera mememinta untuk merubah lokasi tujuan.

Semoga kamu baik-baik saja, Surti ....

____

Jangan pelit kasih like ya ... Setidaknya beri tahu kalau aku tidak sendirian di dunia ini😭😭😭

























Suamiku Belum MoveonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang