Bagian 2

7.3K 306 23
                                    

"Bagaimana, saksi ....?"

"Sah ...."

"Sah ...."

Lalu terdengar lantunan doa dari penghulu, diamini oleh semua kerabat yang hadir. Sedangkan aku? Hanya memandang kosong pada beberapa helai kertas yang sebentar lagi harus kutandatangani.

Hati kecil berkata, saat ini ... babak baru dalam hidupku sudah dimulai. Nindiya si jomblo, sudah berubah status.

Tangan Mas Hanung terulur tanpa aba-aba dari siapapun. Langsung kuraih dan kucium khidmat. Dingin bagai es batu.

"Cium dooong," teriak Irma, salah satu sepupuku yang kini sudah beranak lima.

Cium?

Ish!

Aku terkejut saat tiba-tiba Mas Hanung meraih kepalaku, lalu mencium tepat di bagian kening. Dingin. Bahkan bibirnya juga terasa dingin. Terbayang sosok vampir fenomenal yang menikahi manusia, di film 'The Conjuring'. Siapa ya, namanya? Ada Cullen-cullennya gitu kalau gak salah. Sayangnya Mas Hanung sedikit lebih pesek.

Sepersekian detik setelah bibir dingin itu lepas, terdengar suara hentakan langkah kaki. Saat aku dan Mas Hanung menoleh, terlihat Surti sudah berlari menjauh. Mungkin tadi ia mengintip dari balik pintu, atau malah nyempil di antara para hadirin. Entahlah.

Mas Hanung kemudian menunduk. Mungkin ia sedih melihat kekasihnya kini diteriaki beberapa kerabat, "Huuuu ...!Siapa suruh datang ke nikahan mantan?"

Mantan?

Memangnya mereka sudah putus?
______

Resepsi yang hanya digelar di rumah pengantin pria, ternyata cukup meriah. Tamu-tamu yang datang membuatku lebih sering berdiri ketimbang duduk.

"Nung, istrinya lelah itu kayaknya. Coba sana ajak istirahat sebentar," saran Om Dudung, yang belakangan aku tau kalau dia adalah adik ibunya Mas Hanung. Saat itu tamu undangan sedang tidak seramai beberapa jam yang lalu.

Istirahat? No! Aku belum siap kalau ... kalau tiba-tiba ...

"Iya, Om," jawab Mas Hanung. Lalu ia meraih tanganku, dan menuntun ke sebuah kamar. Ah, tangan itu sudah terasa sedikit lebih hangat.

Sampai di kamar, aku duduk di depan meja rias. Memperhatikan dandanan yang masih paripurna.

"Itu bedak habisin berapa kilo, sih?" selorohnya sambil duduk di ujung ranjang yang hanya berjarak beberapa jengkal dari tempatku duduk. Dekat sekali sebab kamar ini kecil. Jauh berbeda dari kamarku.

Heran, aku masih biasa saja. Tidak berdebar samasekali. Aku bahkan diam saja tidak menanggapi.

"Heh, gak punya mulut apa gak bisa denger,sih?" Dengan kesal ia menoyor kepalaku dari belakang. Sebenarnya tidak kuat, tapi aku sengaja pura-pura terhuyung ke depan hingga kepala terbentur cermin.

"Duh ... maaf! Lemes amat?"

Dengan susah payah ia mengangkat dan mendudukkanku kembali.

"Kamu pusing?" Suaranya terdengar khawatir. Aku hanya mengangguk sedikit, sebelum ia menuntunku ke pembaringan.

"Kamu tiduran aja! Aku cariin teh hangat."

Mata kami bersitatap sesaat, dan itu untuk pertama kalinya. Mata sipit itu, ternyata cukup enak dilihat. Sedangkan wajahnya yang rada Chinese terlihat sedikit pucat.

Kubuang pandanganku saat lelaki itu mendekatkan wajahnya pada wajahku. Sedikit jengah, dan kurasa itu normal.

"Mau kucium dulu?" tawarnya.

"Dasar gak jelas!" gumamku. Memang orang aneh. Dari pagi mukanya ditekuk sampe gak bisa senyum, sekarang malah sok-sok genit mau nyium.

Ia nampak terkejut mendengarku, atau mungkin malu.

"Gak mau ya sudah!" balasnya sewot. Lalu ia pergi begitu saja. Entah jadi mengambilkan teh entah tidak. Terserah.

Sebelum kantuk datang, aku sempat melirik jam dinding. Tepat pukul empat sore.

Aku terbangun bersamaan dengan suara gemuruh tawa yang terdengar dari luar kamar. Ah, masih ramai saja. Kesadaran telah benar-benar pulih ketika mata terpaku pada segelas teh di meja rias. Aku beringsut hendak mengambil. Ternyata sudah dingin.

Kemana si Hanung?

"Itu udah dingin, gak usah diminum!"

Wah, panjang umur dia. Kini lelaki pesek itu berdiri di ambang pintu kamar yang sedikit terbuka. Ia masih memakai pakaian pengantin.

"Aku ... mau mandi. Apa sudah boleh?" Itulah kalimat pertama yang keluar dari mulutku.

"Ya belum dong, kan masih rame inih!" Ia menjawab setengah berbisik. "Masih banyak tamu yang belum datang," sambungnya setelah melangkah masuk.

"Tapi aku capek!"

"Sebentar lagi. Ini cuma sekali seumur hidup, masa segitu aja udah capek?"

Sekali seumur hidup? Benarkah?

Setelah menatapnya cukup lama, aku menunduk. "Kamu yakin ... sekali seumur hidup? Bagaimana kalau nyatanya, kamu malah balikan sama pacarmu?"

Tatapan kami kembali terkunci satu sama lain. Kulihat ia meneguk salivanya, mungkin gugup. Lalu tanpa menjawab pertanyaanku, ia berbalik dan melangkah pergi.

"Aku tunggu di pelaminan. Jangan lupa benerin dulu itu bedaknya. Alisnya juga udah pudar sebelah!"

"Masa?"
-----

Hari yang panjang, akhirnya selesai. Pukul sepuluh malam, barulah tubuhku bisa segar kembali setelah mandi. Di luar kini hanya tinggal beberapa kerabat dekat saja. Suara ayahku juga masih sesekali terdengar.

Ya, tidak ada bulan madu di hotel. Malam ini dan mungkin beberapa hari, kami akan menginap di sini sebelum nanti pindah ke rumah yang sudah dibelikan ayahku. Tidak besar memang, tapi cukup untuk keluarga kecil.

Masih terlilit handuk, aku kebingungan mencari dimana tadi tas yang berisi pakaianku. Sengaja aku membawa piyama panjang atas bawah lengkap dengan kupluk unicorn kesayangan. Tapi, di mana? Jelas-jelas tadi pagi sebelum didandani, aku meletakkannya di bawah ranjang.

'ceklek'

Kaget bukan main saat pintu terbuka. Syukurlah, bukan si pesek. Tapi ibu mertua.

"I ... Ibu?"

"Kamu cari baju ganti, ya?" tanyanya ramah. Lalu ia menutup pintu dan melangkah masuk. Ia letakkan sebuah 'paperbag' kecil di meja rias.

"Tadi tas kamu ibu pindahin ke kamar lain, biar kamarnya agak longgar. Maklum, kamarnya Hanung kecil. Tapi Ibu lupa tadi tarok di mana. Pake ini dulu aja, ya?" Setelah sedikit senyum-senyum, Ibu mertua langsung berlalu.

Tinggalah aku yang terpaku menatap benda yang tak lain dan tak bukan, adalah sebuah ... sebuah ... lingerie.

Oh ... No! Masa harus pakai beginian doang? Gak pake cangcut, gitu?
------



Suamiku Belum MoveonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang