Bagian 8.

5.9K 359 3
                                    

Entah kenapa hati ini sedikit gelisah saat membayangkan Mas Hanung akan datang menjemputku. Kupoles wajah agar terlihat sedikit lebih segar. Kubuka lemari, syukurlah ada beberapa potong pakaian yang masih cantik. Untung waktu pindahan tidak kubawa semua.

"Mau kemana?" tanya ayah saat aku keluar dari kamar.

"Mau pulang saja, Yah. Sebentar lagi Mas Hanung jemput," jelasku.

Ayah tersenyum meledek sambil melihat penampilanku dari atas ke bawah.

"Cantik amat, neng?" selorohnya. Pipiku terasa panas. Masa, sih, cantik? Apa aku terlalu berlebihan?

"Apa sebaiknya ganti yang lain, Yah?" tanyaku serius. Ayah malah menggeleng cepat-cepat sambil mengacungkan jempol. Menyesal rasanya memilih pakaian ini. Memang agak sedikit terbuka di bagian bahu, namun tidak lebih seksi dari pakaian yang biasa dipakai Surti.

Ah, Surti lagi.

Suara mobil Mas Hanung bagai memenuhi telinga. Berpacu dengan suara jantung yang bertalu-talu. Sepertinya aku sudah tidak waras. Padahal beberapa jam yang lalu aku masih menyangka ia sudah menghamili gadis lain sebelum menikahiku. Namun nyatanya, kini aku bagai remaja yang sedang menunggu pacar di malam Minggu. Benar-benar tidak masuk akal.

"Permisi ..." Suaranya kini di balik pintu depan.
Kutatap ayah yang mengedikkan bahunya, lalu malah pergi meninggalkanku menuju kamar. Mau atau tidak, harus aku yang membukakan pintu.

"Lama amat bukanya," protes lelaki sipit itu sambil menatapku. Lalu, tatapannya menjalar dari atas sampai bawah. Hampir serupa dengan tatapan ayah tadi.

"Kamu mau ke mana?" Ia melongo.

"Ya mau pulang. Masa mau kencan!" Aku menjawab kesal. Ia malah terkekeh.

"Apa, gak tawarin aku masuk dulu? Ada ayah gak?" basa basinya. Aku melebarkan pintu lalu membiarkannya masuk. Ia langsung duduk di sofa.

"Mau kubuatkan minum?" tawarku.

"Terserah."

"Ya udah air putih aja."

"Dasar istri pelit," desisnya.

"Jus? Kopi? Teh? Susu?"

"Susu," jawabnya seraya mengerling nakal.

Aku melengos lalu berbalik menuju dapur. Aku mengernyit karena bingung, mau dibikinin susu apa? Aku bahkan tidak menemukan susu di sini. Hanya ada susu khusus 50+ milik ayah. Setelah berpikir sejenak, kuputuskan untuk membuat yang itu saja. Dua gelas.

"Hanung sudah tahu, Yah. Ayah tidak usah cerita. Biarlah Nindiya sendiri yang cerita kalau dia sudah siap. Hanung mau terima dia apa adanya."

Suara Mas Hanung terdengar ke ruang keluarga walau sedikit samar. Apa yang mereka bicarakan? Aku kini menghentikan langkah. Di balik tembok yang memisahkan ruang keluarga dan ruang tamu, aku memasang telingaku lebar-lebar.

"Terimakasih banyak, Nak. Terimakasih. Ayah benar-benar sudah tenang sekarang."

Suara ayah terdengar serak, seperti orang hendak menangis. Ada apa sebenarnya?

"Tolong, jaga Nindiya baik-baik, ya?" Suara ayah lagi.

Oh, mungkin hanya obrolan antar mertua dan menantu biasa. Kulanjutkan langkahku menuju ruang tamu. Setelah sampai, kuletakkan dua gelas susu hangat di meja.

Anehnya mereka seolah merubah pembicaraan. Soalan seputar pekerjaan Mas Hanung, dan kesehatan ayah yang mulai membaik.

"Ini susu yang mana, Nin? Susu manula punya ayah, ya?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 28, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Suamiku Belum MoveonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang