Bagian 3

6.3K 311 22
                                    

Masih memperhatikan detail benda asing pemberian ibu mertua, kembali aku dikejutkan oleh suara pintu kamar yang terbuka tiba-tiba. Aku mati gaya. Terlebih lingerie sialan ini masih di tangan. Aku ... kudu ... 'ottoke'?

Mas Hanung pun terlihat kaget. Mata sipitnya kini lebih bulat dari biasanya. Untunglah ia bereaksi lebih cepat dengan membuka lemari, dan mengambil asal selembar pakaian miliknya. Lalu, ia lemparkan padaku. Tepat nyangkut di kepala.

Aku langsung ngacir ke kamar mandi. Tapi teringat kalau masih ada yang kurang. Tega bener sih ibu mertua, sampe dalemanku segala diumpetin.

Masih bingung harus minta tolong atau tidak. Serba salah jadinya. Setelah cukup  lama hanya mematung, terdengar suara Mas Hanung dari balik pintu.

"Ini masih baru. Belum dicuci, sih, tapi mendinglah daripada gak ganti."

Saat pintu kubuka sedikit, terpampanglah sekotak kolor pria isi tiga biji. XL gaees ....

"Maaf ya, mamaku kadang suka iseng," jelasnya. Oh, rupanya ia tau kalau tasku disembunyikan ibu mertua.

"Terus ... jangan peke yang ijo! Yang abu-abu aja, ya? Nah, kalau B*a aku gak punya."
_____

Andai ada tempat tidur plus bantal dan selimut di kamar mandi, pastilah aku gak akan keluar dari tempat ini sampai lebaran haji. Malunya aku. Ditambah pakaian kendor yang tidak nyaman di kulit ini, semakin membuatku resah.

Tapi, mau atau tidak aku harus keluar. Sengaja kugerai rambut panjangku agar dapat menyembunyikan wajah yang terasa panas. Lalu aku memantapkan hati.

'Ceklek'

Bunyi kenop pintu semakin menambah ritme jantung.

"Astaghfirullahal'adziiiim ...!"

Mas Hanung yang sedang membereskan tempat tidur, malah terperanjat. Hampir saja aku dilempar dengan bantal yang sedang dipegangnya.

"Kaget aku! Kirain hantu."

"Enak aja bilang hantu!" sewotku. Sungguh, ekspresi wajahnya saat ketakutan ternyata bisa membuat keteganganku mereda. Rasanya ingin tertawa lepas. Hahaha ....

"Ranjangnya sempit kalau tidur berdua. Aku di bawah aja." Segera ia menyusun bed cover dan bantal, lalu berbaring menghadap tembok. Baguslah. Aku tidak perlu sungkan-sungkan lagi. Kuraih sehelai kain sarung di atas kursi, lalu bergegas tidur. Anehnya, ada sesuatu yang tidak nyaman di dadaku. Kecewakah aku? Apa ini yang namanya ditolak?

Ternyata tidak semudah dugaanku. Padahal ini baru malam pertama, namun mataku tak bisa tidur walau sebentar. Terlebih saat melihat ke bawah, sosok yang kini telah menjadi suamiku itu. Ya, ia pun hanya menatap kosong pada langit-langit.
____

Begitulah beberapa hari berlalu. Walau kedua mertuaku selalu hangat setiap harinya, namun hubunganku dan Mas Hanung tetap tidak ada kemajuan. Tak ada komunikasi yang berarti di antara kami.

Hari itu kami pindah ke rumah baru. Rumah minimalis yang hanya punya dua buah kamar, satu ruang keluarga, dapur kecil dan satu kamar mandi. Syukurlah perabotannya juga sudah tersedia. Ayahku, ternyata mempersiapkannya dari jauh hari.

"Aku tidur di kamar yang ini, kamu di sana aja!" Aku menunjuk kamar yang lebih kecil untuk Mas Hanung. Dia hanya mengangguk, lalu membawa masuk barang miliknya ke dalam.

"Tapi ... di kamar ini gak ada apa-apa. Masa aku harus tidur di ubin?" Tiba-tiba ia keluar lagi dengan wajah sewot.

"Lah, terus gimana?"

"Kita kan sudah sah suami istri ...."

"Terus ...?"

"Ya ... sekamar aja. Gak ada salahnya, kan?"

"Jangan memaksakan diri! Aku tau kamu belum bisa terima aku dan lupain si Surti. Sementara tidur di sofa aja. Besok aku beliin kasur sama lemari kecil."

Sulit mengartikan tatapan Mas Hanung. Entah tidak suka dengan saranku, atau emang dianya yang sudah kebelet ingin sekamar. Yang jelas, dia terlihat keberatan. Walau akhirnya mengangguk, ia tetap memasang wajah masam.

Sebenarnya, naluriku sebagai perempuan sedang menangkap sinyal dari Mas Hanung. Ia seperti mau memulai komunikasi denganku. Tapi, egoku masih setinggi gunung. Belum bisa kuruntuhkan.
-----

Mas Hanung ternyata seorang lelaki yang rajin. Lelaki yang bekerja di sebuah perusahaan makanan ringan itu, selalu bangun subuh dan tidak segan membantuku menyiapkan sarapan. Pernah sekali ia menawarkan diri untuk mengantarku ke salon. Ya aku punya sebuah salon yang sudah lumayan terkenal. Itulah mata pencaharianku selama ini. Tapi aku menolak tawarannya. Aku masih saja merasa risih.

Perlahan, sedikit demi sedikit, akhirnya kami mulai terbiasa satu sama lain. Sudah mulai saling melempar senyum, sekedar bercanda, bahkan kini kami sudah berkirim pesan saat sama-sama di tempat kerja. Mas Hanung, ternyata seorang lelaki yang perhatian.

Namun sayang, hubungan yang kukira akan mulai terjalin baik ... harus kembali lagi ke titik nol. Kami bertengkar.

Aku memergokinya sedang asik berduaan dengan seseorang di sebuah kafe. Seseorang itu, tak lain dan tak bukan adalah ... Surti.

"Kamu cemburu?" tuduhnya saat kami sudah sampai di rumah. Ia menatapku dengan tatapan aneh.

Aku hanya diam. Sebab aku pun tak mengerti, kenapa aku harus marah.

"Cemburu?" ulangnya.

"Tidak."

"Baguslah. Tadi itu, dia minta ketemu ... katanya, dia mau menerima tawaranmu yang dulu. Emang kamu nawarin apa ke dia?"

Hah?

Aku tak menyangka, tawaran itu kini bagai bom waktu untukku. Bom yang siap memecahkan kepala.

"Aku ... aku nawarin dia buat jadi maduku."

Mas Hanung tidak terkejut. Pastilah Surti sudah memberitahu semua padanya.

"Seandainya aku menikahinya juga, apa kamu setuju?"

Deg.

Walau dari awal aku sudah siap dengan badai, namun nyatanya ... kini aku sudah terhempas saat diterpa angin semilir. Tak terasa, mataku memanas. Hingga bulir bening itu akhirnya jatuh perlahan membasahi pipi.

Belum sempat menjawab, aku sudah berlari ke kamarku. Membanting pintu, dan ... menangis.












Suamiku Belum MoveonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang