Bagian 6

5.5K 326 3
                                    

Wajah itu terlihat pucat. Bahkan bibirnya sudah berwarna sedikit keunguan. Tidak tampak pancaran semangat hidup dari mata cekungnya yang kini terlelap di pembaringan. Sisa tangis, masih meninggalkan jejak di sudut-sudut matanya.

Tidak ada satu kerabat pun yang ia miliki.

Surti ... ditinggalkan begitu saja saat masih merah, tak jauh dari tempat pembuangan sampah. Ia terlahir begitu kecil. Kemungkinan besar kelahiran prematur. Begitulah cerita Mas Hanung sesaat setelah gadis itu dipindah ke kamar rawat.

Miris sekali.

"Ia gadis yang kuat. Itulah yang membuatku tidak pernah berfikir ia akan mengambil keputusan untuk bunuh diri." Kata-kata Mas Hanung masih terngiang-ngiang di kepalaku. Aku dapat menerka betapa khawatirnya suamiku pada gadis ini. Dan itu membuatku semakin merasa bahwa aku hanyalah batu sandungan bagi hubungan mereka.

Lantas, aku harus bagaimana? Jika satu-satunya orang yang ia inginkan nyatanya kini sudah menjadi suamiku seutuhnya, haruskah aku ... berbagi? Atau malah ... pergi?

Entah apa yang kulakukan saat ini. Seperti orang bodoh, aku menunggui gadis yang sangat ingin menjadi maduku itu. Sedangkan Mas Hanung tidak bisa meninggalkan pekerjaannya lebih lama.

Dengan lancang, kubuka ponsel milik Surti yang  sejak tadi mencuri perhatian. Benda yang terbawa di dalam saku piyamanya yang sudah penuh dengan noda darah.

Foto dirinya dan Mas Hanung yang terpasang di wallpaper, berhasil membuat ulu hatiku terasa ngilu. Betapa mesranya mereka saat Surti bergelayut manja di lengan lelaki sipit yang sudah merenggut ... Ah, sudahlah. Ini hanya masa lalu.

Ada sebuah gambar lain yang sangat menyita perhatianku. Yaitu saat Mas Hanung memegang sebuah cake ulang tahun dengan angka tujuh belas tertancap di tengahnya. Di situ, Surti terlihat bahagia sekali.

Mendadak aku merasa jadi perempuan paling jahat se jagat raya.

Tunggu, justru akulah yang harusnya marah. Akulah pasangan Mas Hanung yang sah di mata hukum dan agama. Kami bahkan menikah dengan izin dari orang tua kami.

Air mataku egoisku mulai menetes. Bukan lagi karena simpati pada sosok yang kini tergolek lemah di depanku. Tapi aku memikirkan masa depanku sendiri. Akan jadi apa aku nanti jika suamiku malah luluh dan meminta izinku untuk menikahinya?

"Permisi ..."

Suara seorang perawat membuyarkan lamunanku. Aku menoleh, dan menemukan wanita muda berbaju putih itu tersenyum.

"Ibu keluarganya Nona Surti?" tanyanya.

"Bukan. Saya hanya kenalannya," jawabku. Suster itu terlihat sedikit bingung.

"Ada apa, Sus?"

"Ada hal pribadi yang yang harus saya katakan hanya pada kerabat dekatnya, Bu."

"Tapi gadis ini sebatang kara. Sementara, penanggungjawabnya adalah suami saya."

Suster itu mengangguk.

"Begini, Bu ... hasil tes darah yang tadi sudah keluar. Nona ini positif hamil. Kalau dia sudah sadar akan dirujuk ke spesialis kandungan untuk mengetahui usia kandungannya."

Bagai mendengar petir di siang bolong. Aku sungguh terkejut mendengar penjelasannya.

Apa? Ha ... hamil? Jika waktu itu ia menegaskan padaku bahwa Mas Hanung bukan 'lelaki seperti itu', lalu ... dengan siapa ia melakukannya?

"Baik, Bu. Saya permisi dulu."

Dan suster itu pun meninggalkanku yang kini menatap nyalang pada gadis yang masihterbaring lemah. Bermacam pertanyaan berkecamuk di dada. Mungkinkah ia berbuat dengan orang lain dan menginginkan Mas Hanung yang bertanggung jawab? Atau malah, mereka memang sudah melakukannya?

"Kenapa ... aku masih hidup?"

Suara lirih itu menambah emosiku. Kulihat ia mengerjap perlahan. Setelah matanya benar-benar terbuka, ia berusaha untuk bangkit. Kubiarkan saja, hingga ia terhempas kembali karena tidak punya tenaga.

Hati ingin sekali berteriak, mengucapkan selamat atas kehamilannya. Tapi rasa kemanusiaanku sedikit lebih tinggi, gadis ini mungkin saja depresi. Aku tak ingin menambah dosa dengan memperburuk keadaanya.

"Kenapa aku di sini ... Mba?" Lagi-lagi ia bersuara lirih.

"Karena kamu mengirimiku pesan," jawabku. Lalu ia mulai terisak. Terdengar memilukan.

"Sudahlah ... menangis pun gak akan merubah takdir. Tetaplah kuat, demi janinmu." Aku mencoba menghibur. Tapi reaksinya malah membuatku semakin bingung.

"Ha ... hamil? Aku? Gak mungkin! Gak mungkin, Mba!"

"Kalau kamu berbuat, apanya yang gak mungkin, Surti?" Aku mulai kesal. Wik wik kok mau aja giliran positif hamil bilang gak mungkin. Sayang sekali lagi-lagi sisi ibu peri yang ada padaku kembali bangkit. Kekesalanku mereda dan malah berubah menjadi panik. Surti kini memukuli perutnya. Sedang tangisnya sudah menggema di seluruh ruangan.

Segera kutekan bel untuk memanggil suster. Beberapa saat, suster yang tadi kembali datang dengan tergesa.

"Tenang, Mba. Tenang!" Ia segera meraih tangan Surti dan menahannya agar tidak memukuli perutnya lagi. Sedangkan aku spontan keluar untuk memanggil perawat yang lain. Mereka langsung bergegas menghampiri.

"Jangan begini, Mba. Kasihan janinnya. Dia gak berdosa." Suster yang tadi berkata sambil masih berusaha menahan lengannya. Sedangkan perawat yang lain ada yang menyuntikkan sesuatu melalui infusnya.

Surti mulai sedikit tenang walau masih menangis.

"Siapa yang menghamilimu, Surti?" tanyaku dengan nada pelan setelah di ruangan itu hanya tinggal kami berdua.

Semenit, dua menit, ia tak jua menjawab. Kucoba menarik napas dalam-dalam untuk meredam emosi. Ingin pergi saja rasanya, namun pesan suster untuk tidak meninggalkannya sendirian membuatku urung beranjak.

"Aku ... ingin ketemu Mas Hanung!" desisnya

Ya Tuhan ... kesabaranku benar-benar diuji.

"Mau apa kamu ketemu suamiku?" sengitku. Namun lagi-lagi aku hanya mendengarkan isak tangis sebagai jawabannya.

Baiklah. Aku sudah muak. Dengan tergesa kutinggalkan ruangan itu. Tak kupedulikan teriakan suster jaga yang terus memanggil di belakang.

"Iya, sayang. Ada apa?" Mas Hanung langsung menjawab teleponku.

"Lihatlah dia sebentar!" Aku nyaris membentak. "Dia bilang pengen ketemu kamu. Kali aja mau meminta pertanggungjawaban!" lanjutku.

"Maksudnya apa? Dia ..."

"Iya. Dia hamil."

Langsung kuputuskan sambungan telepon. Tak terasa dadaku kembali sesak. Segera kupesan taksi online. Aku tidak akan pulang ke rumah. Sebaiknya aku ke rumah ayah saja.















Suamiku Belum MoveonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang