Bab 1

51.5K 2.5K 84
                                    

FOLLOW dulu yuk biar bisa baca keseluruhan ceritanya 😊

Warning:

Jangan berharap kisah ini akan penuh dengan ekspresi senyum manis.
Tidak akan ada juga kisah romantis antara kedua sejoli.

Kisah ini penuh kesakitan akan pengharapan yang hancur berkeping-keping 💔

Mohon responnya semoga saiia konsisten melanjutkan cerita ini sampai ending 😢

Happy Reading...

***

Isak tangis terdengar sangat menyakitkan dalam ruangan kecil yang berantakan. Seorang gadis belia menekuk kedua lutut untuk menyembunyikan wajahnya. Punggungnya bersandar pada kepala tempat tidurnya.

Tubuhnya bergetar menahan rintihan, terlihat sangat mengenaskan.

Empat jam telah berlalu dari peristiwa paling kejam sepanjang hidupnya. Lima pecundang biadab memperkosanya.

Setelah para pemuda laknat itu pergi, Arumi tertatih memasuki kamar mandi mengguyur dan menggosok seluruh tubuhnya hingga lecet. Bahkan area kewanitaan yang masih terasa perih itu terus dibasuh meski tetap saja rasa jijik itu menggerogoti jiwanya.

Arumi menggigit bibirnya menahan rasa sakit yang teramat dalam. Semua makian dan umpatan terus dirapalkan dalam hatinya. Pita suaranya terlalu lelah digunakan untuk berteriak kesal.

Arumi menuruni kasur kecilnya. Ia mencoba membenahi kamar yang bentuknya sudah seperti kapal pecah. Hatinya tersayat saat meraih seragam putih abu-abu yang telah tak berbentuk. Seragam yang sama digunakan oleh para manusia berengsek itu.

Arumi Venus hanyalah gadis miskin yang hidup serba kekurangan. Kecerdasan yang dimiliknya membawa pada keberuntungan memasuki sekolah tingkat atas ternama.

Dengan tekad dan semangat belajar yang tinggi mempunyai impian menjadi konsultan hebat demi membanggakan satu-satunya pria yang paling dicintainya, Herman Bumiandra, ayahnya.

Arumi berjalan perlahan keluar dari kamarnya. Dahinya mengernyit sesaat, mata sembabnya mengedar memperhatikan ruangan yang kondisinya cukup rapi mengingat kelima bajingan tadi merusaknya.

Seketika air mukanya berubah tegang. Kedua kaki yang menopang terasa lemas namun Arumi berusaha kuat menyangganya.

"Ini." seorang pemuda meletakan satu strip pil dan juga obat sejenis tablet dalam kemasan botol di atas meja tamu.

"Kau harus meminumnya!" titahnya dingin.

"K-kau masih ada di sini!"

Pemuda itu mengangguk dengan tatapan dingin. Perlahan menghampiri Arumi yang semakin memucat.

"Ja-jangan me-mendekat! A-apa kau masih belum puas menghancurkanku? Apa kau masih belum puas dan menginginkannya lagi?!" Arumi mundur beberapa langkah hingga punggungnya terbentur pintu kamar.

Langkah pemuda itu terhenti, ia hanya menatap tanpa berniat mendekatinya. "Minumlah, jika tidak, semua kemalanganmu akan bertambah dengan perut yang membuncit. Dipastikan, kau akan semakin hancur karena merasa bingung dengan DNA sang janin!"

Wajah Arumi semakin pucat pasi. Punggungnya bergetar dan semua ketakutan Arumi diketahui pemuda itu.

"Hm, kau juga harus mengkonsumsi obat dalam kemasan botol itu untuk memulihkan kesehatanmu." lantas pemuda itu menghilang dari balik pintu utama.

Arumi meluruh dalam bersandar pada pintu. Hatinya kembali pilu. Memikirkan nasib dan juga ayahnya. Selama ini ia selalu semangat belajar agar kelak menjadi wanita sukses dan membuat harum nama ayahnya.

Kini, semua hanyalah tinggal impian kosong tanpa tujuan.

Dret dret

Arumi tersadar akan dirinya yang kembali larut. Ia bangkit berjalan menuju pojok nakas yang terdapat ponsel kecilnya.

Lagi-lagi wajahnya berubah mendung, namun kali bercampur panik. Sebuah pesan masuk yang membuat dirinya cemas luar biasa.

Arumi segera meminum obat pemberian tadi, lalu mengenakan jaketnya cepat. Ia memutuskan untuk keluar memenuhi panggilan yang tertera di chat.

Beberapa menit berlalu Arumi tiba di pertigaan jalan. Dengan menahan rasa nyeri di area intimnya ia terus melanjutkan langkahnya yang terseok-seok.

"Arumi, kau mau kemana?" sapa seorang pria yang mengenakan sepeda motor matic.

"Ah, Yoga. Hm, aku ingin ke kios Ayahku," jawab Arumi berusaha santai.

"Naiklah! Tapi kuantar hanya sampai pertigaan kios saja karena aku sudah terlambat absensi malam," jelas Yoga tak enak hati. Pria yang tinggal tak jauh dari rumahnya.

"Tidak apa-apa, aku mengerti. Kau juga harus bekerja," kekeh Arumi. Setelahnya ia menaiki kendaraan roda dua itu.

Arumi mempercepat langkahnya setelah diturunkan di pertigaan pemberhentian. Jika tidak karena area kewanitaannya yang nyeri, Arumi pasti berlari cepat.

Tak sampai sepuluh menit akhirnya Arumi tiba di seberang jalan raya yang berhadapan dengan kios ayahnya.

Untuk kesekian kalinya jantungnya seperti ingin berhenti berdetak mengalami kebrutalan bertubi-tubi.

Air mata kembali lolos dari sudut mata sendunya.

Ayah...

.

.

.

*24-Nov-2018
EL alice

AtonementTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang