Bab 3

24.9K 2.1K 40
                                    

"Ayah, jangan pernah tinggalkan Arumi!" ucapnya tiba-tiba setelah menghabiskan es krimnya.

Pria tua yang masih asik menikmati es krim dalam cup tertegun akan pelukan erat dari putrinya.

"Maafkan Aku selalu menyusahkan Ayah." Arumi tak bisa lagi membendung rasa sakitnya. Cengkeraman erat Herman rasakan pada kedua pinggangnya.

"Ayah harus kuat, kita pasti bisa melewatinya!" lanjut Arumi terisak.

Herman meletakkan sisa cup es krim pada batu sebelah duduknya. Saat ini mereka duduk berdua di taman yang tidak terlalu ramai.

"Kau ke-napa?" Herman meraih wajah Arumi untuk menatapnya.

Arumi menggeleng pelan, "Tidak apa-apa. Aku hanya merindukan Ibu dan ingin kembali ke desa saja melanjutkan sekolah di sana."

Herman tak percaya dengan ucapan Arumi yang tiba-tiba. Dulu gadis ini yang membujuknya pindah ke kota saat mendapatkan beasiswa sekolah.

"Aku takut preman tadi kembali menyakiti Ayah."

"Ayah akan meng-hadapinya!" tukas Herman percaya diri.

"Tapi aku tidak mau Ayah terluka," lirih Arumi menyeka sudut bibir Herman yang lebam.

Pria tua itu tersenyum dengan perasaan haru. Diraihnya tubuh kecil penguat hidupnya saat menjalani takdir dunia.

Tanpa ada yang tahu, kedua drama ayah dan putrinya itu diperhatikan seseorang dari kejauhan. Pemuda itu menatap tanpa ekspresi. Namun, rahang tegasnya tercetak jelas hingga ia memilih mengalihkan tatapannya dari adegan mellow tersebut.

Pemuda itu terus mengikuti sampai Arumi dan Herman tiba di rumahnya hingga menutup pintu. Kemudian ia mengeluarkan ponselnya.

Selang beberpa menit, roda empat mewah tiba di seberang jalan. Pemuda itu berlari cepat memasukinya lantas memerintahkan sang sopir menuju kediamannya.

Terlalu larut dengan pikirannya, sampai tidak menyadari jika mobilnya memasuki halaman luas.

"Tuan Hans, kita sudah sampai," ujar sang sopir.

"Ah, ya, terima kasih."

Hans berjalan gontai, baru saja ia menaiki anak tangga menuju kamarnya, dering ponsel kembali mengusiknya. Namun hanya sesaat membaca nama panggilannya tanpa berniat menerimanya.

Hans malah mematikan panggilan tersebut lantas me-non aktifkan poselnya. Kakinya terus melangkah hingga sampai pada tempat tidur super megah.

Hans melempar benda pipih canggih itu di atasnya lantas segera merebahkan tubuh jangkungnya dengan tangan merentang. Matanya terpejam rapat namun kembali terbuka.

Tangan kuatnya mengusap kasar wajahnya hingga ke belakang rambut tebalnya. Hans menegakkan punggung dan memijat pelipisnya yang terasa pening.

Prang!

Satu vas bunga menjadi pelampiasannya. Entah apa yang membuat pemuda itu kalut sendirian.

Ia memilih mengabaikan pecahan keramik yang berserakan dan kembali merebahkan tubuhnya. Pandangan tajam netranya menatap kosong langit-langit kamarnya.

Hans bergumam lirih dengan tenggorokan yang amat sangat tersekat.

"Arumi Venus ..."

.

.

.

*27-Nov-2018
EL alice

AtonementTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang