Bagian Dari Cerita

20 1 0
                                    

Seorang gadis berkulit pucat dengan rambut hitam tergerai tengah duduk di kursi halte, mendengarkan musik melalui earphone yang melekat sedari tadi di daun telinganya. Seluruh konsentrasinya tertuju pada sebuah diary berwarna magenta. Pena berwarna merah hari menari-nari diatasnya. Jari tangan kurus itu seakan tidak bosan memberi coretan disana-sini. Ia bisa menulis apa saja, rasa jengahnya, kebenciannya, dan hal yang mungkin ia sukai. Tapi kebencian dan sumpah serapahlah yang mendominasi isi diary yang sudah seperti bagian dari dirinya yang sulit ia ucapkan.

-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-

26 November

Kosong, hampa. Aku ingin pergi tapi tidak tahu akan kemana. Kedua kakiku melangkah saja sesukanya. Arahnya tidak jelas meski terjadwal. Aku mulai kuliah setelah dua tahun menganggur. Aku tidak terlalu suka kuliah. Tapi aku merasa bersalah jika tidak kuliah. Nanti ibuku akan mengamuk seharian padaku.

Setiap hari, aku akan bangun pukul lima pagi, menyiapkan semuanya dan berangkat jalan kaki ke halte. Meski tidak semua mata kuliah yang kuambil di jam pagi, aku selalu berangkat sebelum ibu dan adik-adikku terbangun. Hanya agar mereka tidak melihatku dari pagi, agar mereka tidak muak denganku. Begitulah. Sesampainya di kampus aku malah tertidur selama kuliah berlangsung, kebanyakan kuhabiskan berada di perpustakaan atau berjalan kaki berkeliling areal kampus seharian. Sat makan siang aku akan berada di perpustakaan dan berselancar di dunia maya. Hanya melihat-lihat gambar. Tepat pada pukul enam sore. Aku bergegas pulang. Lalu ingat bahwa aku lupa mengisi perutku saat siang dan mengabaikannya. Selalu begini dan berulang-ulang setiap hari.

Pukul enam sore. Alarm di ponselku berdering. Ada banyak hal yang terjadi pukul enam sore di dalam hidupku. Dari dulu sampai sekarang. Aku ingat, ayah pernah cerita jika aku lahir tepat pukul enam. Waktu-waktu dengan cuaca hangat seperti ini selalu bisa membawaku ke alam lain. Dunia tanpa ada waktu dan gelisah. Semua bergerak perlahan. Aku memejamkan mata dan merasakan hangatnya sinar matahari dari sela-sela ranting pohon. Setelah hujan sedari tadi pagi. Akhirnya hujan reda. Sepertinya aku bisa melompat-lompat diatas genangan air. Tapi aku sudah cukup tua untuk bermain genangan air didepan umum. Yang benar saja. Aku punya malu. Jadi aku tidak akan main air walau aku ingin.

Meski hari-hariku cukup tenang, aku bosan.

Jazelle

-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-

Gadis itu menutup bukunya dan menatap nanar ke arah genangan air. Dia berharap bis yang menjemputnya tidak usah datang saja. Berharap sinar mentari tidak akan padam, untuk hari itu saja.

Secepat sel-sel darahnya berproduksi, ia kini berharap semoga bisnya datang lebih cepat.

"Hai" suara yang terdengar feminin bagi laki-laki berusia duapuluhan terdengar ditelinganya. Lelaki itu terlihat lebih canggung setelah melepas sebelah earphone yang sedari tadi melekat di telinga Jazelle. Ia menggaruk lehernya yang bahkan mungkin tidak gatal samasekali.

Jazelle hanya menoleh pada lelaki itu sekilas, lalu ia beranjak untuk bangkit dari tempatnya duduk saat ini. Namun tangannya ditarik agar duduk kembali.

"A, ada apa? Bukannya kau biasanya menunggu disini?"

"Ah, iya. Benar juga. Aku memang selalu menunggu bis disini. Tapi sekarang sepertinya aku akan menginap dikampus saja" kata Jazelle tak peduli.

"Oh ya? Dimana kau akan menginap?"

"Perpustakaan? Ikut sembarang kelas? Aku bisa tidur dimana saja. Aku pergi " jazelle bangkit lagi dari tempat duduknya.

"Jaz.."

"Apa"

"Mau kopi? Aku traktir"

"Tidak"

"Jaz! Aku minta maaf!"

Jazelle yang kini berada sepuluh langkah terpaut dari lelaki yang mengajaknya sepayung saat hujan tempo hari itu dan memiringkan kepalanya. "Apa? Aku tidak mendengarnya. Coba ulangi"

Lelaki itu tampak hendak menangis. Matanya berkaca-kaca dan berlari beberapa langkah dengan kaki-kaki jenjangnya. Rambut ikal panjangnya seperti permen kapas yang melompat-lompat empuk. Ia lalu memeluk gadis kecil dengan lengannya yang panjang. Mengimpit gadis itu di bawah dadanya.

"Ki, keenan. A.. apa yang kau lakukan! Aku tidak bisa bernapas. Uhuk!nmenjauhlah"

"Tidak! Tidak sebelum kau memaafkan ku"

Gadis yang terus meronta dan memukul-mukul orang yang mendekapnya erat itu perlahan kehilangan tenaga. Ia akhirnya pasrah dan membiarkan dirinya dipeluk. Menghirup aroma bergamot yang menyeruak membelai indera penciumannya. Akhirnya ia membalas pelukan itu dengan melingkarkan tangannya pada pinggang laki-laki itu.

"Memang apa salahmu? Coba katakan padaku? Aku tidak ingat kau salah apa"

Hening. Meski beberapa orang lalu lalang dan bis telah tiba, memandangi dua orang berpelukan ditempat umum.

"Keen. Aku membencimu. Lepaskan aku"

"Aku bersalah karena aku... Aku.."

"Sudahlah. Jangan dipaksakan.aku tidak akan minum kopi denganmu. Aku ingin pulang"

Begitu Jazelle terlepas dari belenggu itu, ia harus menunggu bis lagi selama satu jam.

"Lihat. Sial memang jika berada didekatmu. Aku ketinggalan bis. Sepertinya aku harus menginap di kampus"

"Aku bisa mengantarmu"

°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°

Allan menimbang-nimbang kunci mobil ditangan kirinya dan mendengus kesal beberapa kali.

"Kau benar-benar akan pindah?"

"Ya. Aku tidak bisa disini terus. Lagipula aku sudah tidak bekerja lagi disana"

Hiro mengemasi barang-barangnya kedalam sebuah koper. Memasukkan semua pakaiannya dan terdapat beberapa kardus berisi buku-buku dan aneka peralatan menggambar.

"Lalu, kau akan bekerja dimana? Sepertinya kau sudah gila. Mengundurkan diri dari semua pekerjaanmu!?" Allan setengah berteriak.

Hiro pun mengehentikan aktifitasnya dan menarik napas, dalam.

"Aku sudah mendapat pekerjaan. Aku melamar jadi dosen di Jepang. Lagipula aku menerima banyak tawaran dari sana. Ya kuterima saja" jawab Hiro santai.

"Astaga. Hidupmu mudah sekali. Ooh, aku mengerti. jadi, kau harus mengganti pekerjaanmu demi menghilangkan seseorang dari ingatanmu? Aneh sekali. Aneh sekali. Aku salut padamu"

Hiro melempar bantal duduk tepat mengenai kepala sahabatnya itu.

"Aku memang sudah mengajukan berkas dari dulu. Aku ingin berhenti jadi designer dan fokus mengajar. Juga, aku merindukan kampung halamanku, juga ibuku" Hiro menerawang. "Lagipula aku masih terikat kontrak sebagai designer dengan K'company. Jadi aku tidak melepaskan semua pekerjaanku disini"

"Kalau kau ada masalah, bilang saja padaku. Aku siap membantumu, Hiro."

Hiro tersenyum. Senyuman paling tulus yang ia tunjukkan setelah kejadian bulan lalu.

"Bantu aku mengemasi barang-barangku, mobilku rusak dan nanti tolong antar aku ke bandara"

Sial. Keputusan Hiro sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi. Ia akan melakukan apapun sesukanya dan tidak akan mendengarkan siapapun. Sebelas dua belas dengan seorang Allan Achaean. Bedanya, Hiro harus bekerja keras dalam hidupnya. Bahkan dalam setiap tarikan napasnya. Berbeda dengan Allan yang meski hanya seorang pengangguran, telah memiliki semuanya. Hanya dengan jentikan jari, semua akan tersedia didepannya. Dia bahkan tidak melanjutkan SMA. Tapi ia berotak jenius dan menghasilkan musik. Hanya itu yang ia banggakan.

Hiro akan kembali ke Jepang. Entah untuk berapa lama. Allan sudah merasa kesepian bahkan sebelum Hiro meninggalkan Seattle.

°
°
°
°

_koji

Redbone & Solo Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang