Tuhan begitu senang bermain dengan takdir manusia. Satu jentikan jari saja semua bisa terjadi. Woosh. Gedung tinggi ambruk. Woosh. Sungai besar meluap. Woosh. Manusia berubah menjadi monster dan memakan manusia lain.
Apa pun bisa terjadi.
Sasuke tak pernah bermasalah dengan semua takdir yang diberikan. Ia tak pernah mengeluh. Prinsipnya adalah semua yang terjadi, entah baik atau buruk, pasti memiliki sebab. Nilaimu buruk? Kau pasti tidak belajar dengan benar dan suka membolos. Kau jatuh dari sepeda? Tunggu dulu, jangan menyalahkan seseorang. Lihat, apa kau sudah berkendara dengan benar? Tiang listrik di depanmu itu, apakah kau tabrak begitu saja?
Sesederhana itu pikiran Sasuke selama tujuh belas tahun hidupnya.
Maka, ketika Sasuke terpaksa terlambat pulang sekolah karena harus berlatih kendo lebih lama, ia tidak mengeluh. Meski tubuh dibanjiri peluh. Sepenuhnya sadar bahwa kemampuannya memang belum cukup. Latih tanding dengan sekolah tetangga hanya hitungan hari. Sasuke paham jika guru pembimbingnya, Maito Guy, ingin ia tampil secara maksimal.
Lembayung sudah terlihat ketika Sasuke sampai di perumahan tempatnya tinggal. Matahari mengintip dari ufuk barat. Bersiap untuk tenggelam dan menunggu hari esok.
Pemuda berambut hitam sedikit terengah. Jalanan menanjak membuat lelah tubuh semakin bertambah. Sasuke mendesah panjang. Ingin cepat pulang dan rebah di atas ranjang.
Efek kelelahan membuat pemuda tampan itu luput memerhatikan suasana di sekitar yang sangat sepi. Taman yang biasanya dipenuhi anak-anak kini terlihat kosong. Tak berpenghuni. Sasuke hanya melihat istana kecil di tengah kotak pasir yang berantakan.
Butuh waktu sekitar lima menit bagi Sasuke untuk menyadari betapa sunyinya suasana perumahan tempatnya tinggal. Sangat tidak biasa.
Perumahan klan Uchiha tak pernah sesepi ini. Bahkan bibi penjual kroket yang biasanya memberikan Sasuke satu atau dua biji camilan panas secara gratis itu tak terlihat. Warungnya masih buka, tapi tak ada orang yang menjaga.
Tiba-tiba perasaan tidak nyaman itu hadir. Sasuke memercepat langkah. Nyaris seperti berlari. Mungkin hanya perasaannya saja, tapi ia merasa ada seseorang atau sesuatu yang mengikuti dari belakang.
Rumah tetua Uchiha sudah terlihat. Bangunannya sama seperti yang lain, tapi lebih luas dan besar. Perasaan Sasuke semakin tidak enak ketika melihat pagar kayu rumahnya terbuka sebagian.
Derit kayu terdengar begitu jelas. Sasuke kembali menutup pagar. Kening semakin mengerut. Tidak ada cahaya penerangan di dalam. Gelap. Hal yang jarang terjadi karena Ibunda tak pernah lupa menyalakan lampu ketika malam hendak datang.
Suara gesekan pintu seolah menjadi simfoni yang menemani keraguan di dalam batin. Sasuke melangkah masuk ke dalam rumah dengan perlahan. Gelap. Hanya ada sinar lembayung yang samar-samar menerangi rumah.
"Aku pulang."
Tak ada jawaban.
Sasuke menanggalkan sepatu dengan tergesa. Perasaaan tak nyaman semakin menggerogoti batin. Ia melangkah mengelilingi rumah. Ruang keluarga, dapur, kamar tidur, bahkan teras belakang. Tidak ada orang. Ayah dan Ibunda tak terlihat di mana pun.
Napas terengah. Adrenalin memacu debar jantung yang mendadak dipenuhi rasa khawatir. Sasuke nyaris melompat dari tempatnya berdiri ketika suara berisik terdengar dari arah dojo.
"Ayah...?"
Meski berteriak, tak ada sahutan atau respon yang terdengar. Sasuke melangkah dengan perlahan. Entah mengapa, insting menyuruhnya untuk bersiaga. Derit lantai kayu yang dipijak seolah menjadi penunjuk detik. Mendorong Sasuke untuk semakin mendekat.
KAMU SEDANG MEMBACA
RAILROADS [NaruSasu]
FanfictionLima tips bertahan hidup di tengah kiamat dadakan; Satu, berhenti menangisi masa lalumu yang suram; Dua, berkelompok hanya membuat persentase kematianmu meningkat; Tiga, temukan pria berambut pirang yang seksi; Empat, percaya dan serahkan hidupmu pa...