Road Five: Neraka

1K 139 29
                                    

Dua hari mencari warga yang selamat terasa sangat melelahkan. Pada akhirnya Naruto tidak berani keluar dari kereta. Ia akan berdiam diri. Menunggu sampai lembayung tinggi. Sasuke mengamati bayangan sinar matahari yang muncul dari pintu stasiun.

Radio yang beberapa hari lalu digunakan untuk menyiarkan informasi, ternyata hasil rakitan Shikamaru. Sasuke mengusap alat itu sembari tersenyum tipis. Berterima kasih pada pemuda jenius yang kini sudah tenang di alam sana. 

Siaran ketiga dan keempat telah dilakukan. Namun, tidak ada warga yang datang. Seolah hanya mereka saja yang tersisa. 

Sebelum sore, Sasuke melakukan siaran untuk terakhir kali. 

'Kami akan segera menuju Suna. Jika kalian ingin selamat. Datanglah ke stasiun dekat perbatasan pagi hari. Tetaplah hidup.'

*** 

Malam membuat suhu lebih rendah. Sasuke merengkuh tubuh kekar yang menindih begitu nikmat. Naruto menggeram. Menikmati semua stimulasi yang mengaliri seluruh tubuh.  Napas berat dan putus-putus. 
Pemuda kurus mengusap sudut mata sang kekasih yang tak berhenti mengeluarkan air mata. Kehilangan Sai masih membekas di dalam hati pria itu.

“Salah—ngh!—Semua salahku!”

Sasuke mendekap tubuh kekar berkeringat lebih erat. Membisikkan kata-kata manis yang menenangkan. 

Hubungan Naruto dan Sai ternyata tidak sesederhana itu. Mereka dekat sejak kecil. Hidup tanpa orang tua dan bertemu di panti asuhan. Sai adalah sosok adik yang begitu disayangi.

Sasuke paham. Rasa kehilangan yang sekarang dirasakan oleh Naruto sama persis dengannya. Pun, entah sudah berapa banyak rekan satu divisi yang mati terbunuh karena misi kudeta ini.

Naruto dan Sai hanya sebagian kecil pasukan Anbu yang menyeleweng dari pemerintah.

Saat itu, Sasuke benar-benar berpikir.

Apakah ada masa depan yang cerah untuk mereka?

Atau apakah setelah sampai pada barikade, hal yang pertama mereka rasakan adalah neraka?

***

Satu hari sebelum peluncuran bom. Kereta berhenti di stasiun terakhir dekat perbatasan. Masih sama. Kosong. Tak ada warga satu pun yang menunggu. Keraguan membuat batin tidak tenang. Sasuke menatap jendela kereta dengan gusar.

“Ayolah… ayolah…”

Naruto menghela napas. Noda hitam di bawah mata sudah mulai menghilang. Batin sedikit tenang. Semua berkat Sasuke. 

“Dua jam lagi kita berangkat,” ucap pria itu dengan suara serak.  Mengusap wajah yang lelah. 

Sasuke mendecih. Mata hitam tak lepas memandang stasiun yang gelap. “Aku tahu, Naruto. Aku tahu.”

Satu jam berlalu. Dua orang mulai merasa putus asa. Pemuda kurus menjauhi jendela. Ia melangkah lemas menuju pintu. Bermaksud untuk menunggu di gerbong kepala kereta sembari menyiapkan diri.

Tangan sudah terulur hendak membuka pintu, sebelum Naruto berdiri dengan suara terburu. Sasuke menoleh. Menatap pria berambut kuning itu berlari membuka gerbong dengan lebar.

RAILROADS [NaruSasu] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang