Kami tiba di kafe Ice Cream sekitar lima belas menit kemudian. Kafe ini terletak beberapa meter dari sekolah kami, SMA Arcapella. Jangan ditanya bagaimana cara Sadam memangkas waktu normal empat puluh lima menit menjadi lima belas menit.
A-KU I-NGIN MUN-TAH.
Argh....
Aku segera turun dari motor bahkan sebelum motor dimatikan. Aku lari ke sudut pohon dan memuntahkan semuanya.
"Aduh, Bri.... " Sadam berlari ke arahku. Dia menepuk-nepuk punggung dan mengusap tengkuk leherku. "Maaf. Maaf banget, Bri. Gue enggak sengaja."
Aku mengelap mulut dengan baju olahraga. "Sial banget sih hidup gue hari ini, Dam."
Sadam meringis. "Sorry, Bri. Ini salah gue. Gue ngebut banget tadi."
Aku memegang kepala bagian kiri. Migrainku kambuh. Mataku terpejam sesaat untuk menahan rasa sakit.
"Sakit banget, ya? Kita pulang aja, ya!"
Kubuka mata dan terlihatlah wajah bersalahnya.
"Entar gue dimarahin bokap lo gara-gara gagal jaga anaknya."
"Enggak apa-apa, Dam."
"Tapi lo pucet banget, Bri. Gue enggak mau lo kenapa-napa."
Aku terkekeh. "Jangan lebay gitu, ah. Gue kan cewek kuat. Tadi tuh muka gue kedinginan diterpa angin badai pas lo bawa motor."
Sadam tersenyum tipis. "Iya, lo cewek kuat yang gue kenal." Dia melepaskan jaketnya. "Saking kuatnya, kelihatan banget kelemahan lo."
Aku memberengut.
Sadam memberikan jaketnya kepadaku. "Nih, ganti dulu."
Beberapa saat kemudian, aku sudah tampak lebih baik. Aku mengganti bajuku dengan jaket Sadam. Hangat.
Aku juga sudah mencuci muka agar tidak terlihat pucat seperti apa yang dikatakan Sadam tadi. Rambut kuikat tinggi-tinggi. Setelah itu, aku meninggalkan toilet dan menemui Sadam.
Cowok itu masih tampak asyik rupanya dengan ponselnya ketika aku duduk di kursi. Tapi dia sudah memesan minuman. Satu cappucino dengan latte art kesukaannya dan satu susu cokelat panas.
"Mana es krimnya?" tanyaku.
"Lo lagi sakit. Enggak boleh es krim," jawabnya masih dengan posisi yang sama.
"Tapi kan gue mau dinginin kepala, Dam."
Sadam melihatku. Dia menaruh ponselnya di meja. "Dinginin kepala enggak harus pakai es krim, Bri." Dia menggeser susu cokelat ke arahku. "Coba tenangin diri lo dulu. Habis itu lo ceritain ke gue."
Aku mengela napas perlahan. Kupejamkan mata dan kupijit kedua pelipis. Positif thinking, Bri! Come on!
Untuk sepersekian detik aku hanya melakukan hal serupa. Menunggu hatiku tenang itu sulit ternyata.
"Udah?"
Aku mendongak, menemukan tatapan Sadam yang teduh. Kuhela napas sekali lagi, lalu meminum susu cokelat.
"Sekarang cerita." Sadam membenarkan posisi duduknya.
"Lo dulu yang cerita! Siapa Angel?" Nadaku lebih terdengar seperti cewek yang memarahi cowoknya karena kepergok jalan sama cewek lain.
Sadam tergelak. "Lo nanya apa introgasi gue?"
Nah, kan. Wajahku memanas.
"Pipi lo merah, Bri! Lucu!"
KAMU SEDANG MEMBACA
MAHKOTA KERTAS [tamat]
Teen FictionHai, Pembaca. Perkenalkan namaku Sabrina. Sekarang aku kelas XI di SMA Arcapella. Ya... hidupku biasa saja. Ada Sadam yang selalu menemaniku dan Ayah yang menyayangiku. Mama? Aku hanya bisa diam dan menuruti perintahnya saja. Sikap enggak pedulinya...