Lisa membuka matanya perlahan. Sinar matahari yang memasuki ruangan melalui jendela membuatnya terbangun dari tidur singkatnya. Lalu rasa sakit di kepalanya mulai menyerang. Tentu saja, semalam ia minum banyak. Lisa pun berjuang untuk duduk.
Ia tidak tidur di kamarnya. Tepatnya sudah tiga bulan ia tidak beristirahat di sana. Kamar itu hanya digunakannya untuk mengambil pakaian serta perlengkapan kerjanya. Lisa tidak ingin dan tidak diinginkan berada di sana. Ia sudah tahu bagaimana posisinya.
Lisa tidur di sofa ruang tengah. Selimutnya sudah terletak di sana saat ia pulang bekerja. Jelas sekali ia benar-benar tidak diinginkan.
Oleh istrinya sendiri.
Lisa beranjak malas-malasan ke dapur. Mungkin membuat secangkir kopi akan mengobati sakit kepalanya. Lisa menyeret langkahnya sambil bertanya-tanya dalam hati apakah Jennie sudah bangun. Ia berdecak miris. Kenapa ia masih memikirkan orang yang tidak memikirkannya?
Saat kakinya menginjak lantai dapur, ia terkejut karena Jennie hendak keluar dari ruangan tersebut. Hampir saja mereka bertabrakan. Lisa menatap Jennie dalam diam, begitupun sebaliknya. Tidak ada yang berani mengutarakan kata-kata, hanya mata mereka yang saling berbicara.
Sayangnya Lisa tidak ingin berlama-lama menatapnya. Ia berjalan melewati Jennie dan menuju counter dapur untuk membuat minumannya. Jennie menundukkan kepala.
"Eomma meneleponku pagi ini," ucapnya sedikit keras agar terdengar oleh Lisa.
Lisa tidak membalikkan badan untuk melihatnya, namun hanya bergumam keras.
"Eomma...mengundang kita makan malam."
Lisa menuang air mineral ke gelasnya dan meneguknya sampai habis. "Apa kau sudah mengatakan soal surat perceraian itu?"
"Orang tuaku mengundang kita makan malam untuk merayakan ulang tahun pernikahan mereka yang ke tiga puluh. Aku tidak ingin merusak kebahagiaan mereka dengan berita buruk dari kita. Setelah acara itu, aku akan memberitahu mereka. Jika kau mengkhawatirkan hal itu, tenang saja. Aku pasti akan memberitahu mereka."
Lisa mendengus keras. "Ironis sekali ya? Kita akan merayakan kebahagiaan orang tuamu karena telah bersama puluhan tahun, sementara kita?"
Jennie tidak menjawab apa-apa, namun juga tidak beranjak dari sana.
"Sudahlah. Hal itu tidak penting untukmu, kan? Kalau begitu kapan makan malamnya?"
**
Lisa sudah siap sejak setengah jam yang lalu. Ia menunggu Jennie di ruang tamu sambil melihat-lihat media sosialnya. Mereka akan berangkat sepuluh menit lagi tapi seperti biasa, Jennie selalu kekurangan waktu. Tidak seperti Lisa yang berdandan sederhana dalam waktu singkat, Jennie membutuhkan waktu dua kali lipat. Padahal riasan yang dipakainya tidak begitu tebal.
Namun Lisa tidak pernah mendesak sang istri. Selama hampir empat tahun pernikahan mereka, Lisa adalah wanita yang selalu sabar menunggu dan tidak pernah mengeluh.
Meskipun hubungan mereka sedang di ujung tanduk saat ini.
"Ayo kita berangkat."
Suara Jennie di belakang Lisa membuat wanita berambut coklat terang itu menoleh. Lisa memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas tangan dan menatap Jennie.
Seketika ia membeku.
Jennie tampak sangat luar biasa cantik baginya saat ini. Dengan memakai gaun merah Chanel pemberiannya tahun lalu, Jennie terlihat memukau. Jennie sangat cocok dengan warna merah, walaupun Lisa tahu warna kesukaan istrinya itu adalah hitam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unbreakable
Fanfiction"You know it's never fifty-fifty in a marriage. It's always seventy-thirty, or sixty-forty. Someone falls in love first. Someone puts someone else up on a pedestal. Someone works very hard to keep things rolling smoothly; someone else sails along fo...