🦋 2 🦋

190 38 12
                                    

SEPULANG sekolah, Nada berjalan ke ruang OSIS sambil memainkan ponselnya. Sudah beberapa hari ini ia mengidap candu pada salah satu permainan di ponsel pintarnya itu. Tanpa sengaja, Nada menabrak seseorang hingga terjatuh.

Sambil berdiri dan membersihkan rok putihnya, gadis itu menggerutu kesal. "Duh, kenapa deh orang jalan cuma pakai kaki bukan pa-Nino!"

Suara Nada terputus ketika ia mengangkat wajahnya dan bertemu pandang dengan orang yang ditabraknya tadi. Kesal, ia menepis tangan Nino yang terulur hendak membantunya.

"Kenapa deh di mana-mana ada lo?" gerutu Nada dengan kesal. "Jalan yang bener, bisa?"

Nino mengangkat bahu lalu berkata, "Pertama, ini sekolah kita, kita Nad, bukan lo doang. Jadi wajar kalau gue ada di sekitar sini. Yang ke dua, bukan cuma gue yang nggak bener pas jalan. Ngerti?"

"Pertama," kata Nada menjawab dengan gaya sama persis seperti Nino, "gue nggak peduli ini sekolah siapa, yang jelas lo mengganggu ketenangan hidup gue. Dan ke dua, lo yang jalannya nggak bener!"

"Jalan sambil main ponsel itu bener, ya? Gue baru tahu," ledek Nino balik. Wajahnya tenang, bahkan lesung pipi kirinya muncul. "Lo pintar, tapi bego. Ngerti?"

Pipi Nada otomatis menggembung ketika mendengar perkataan Nino. Emosinya naik dan tanduk kasat matanya mulai muncul perlahan. "Gue pintar, lo yang bego. Kenapa sih hari ini sial banget gue?"

"Lo yang bikin diri lo sendiri ngerasa sial. Sekelas sama gue aja kayak dapat kutukan," jawab Nino melengos. Dia benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran Nada. "Gue padahal berharap bisa temenan baik sama lo."

"Kita bisa berteman baik," Nada menggunakan tangannya untuk membentuk tanda kutip di samping kepala saat mengucapkan kata berteman baik, "asal lo nggak ada di sekitar gue. Kayak selama ini aja."

"Emang takdir kita buat sekelas, Nad," jawab Nino. "Dan gue punya lembaran takdir lo yang lain," lanjutnya sambil menggoyangkan kertas yang sejak tadi dibawanya ke arah Nada.

Mata Nada menyipit, ingin tahu, tapi terlalu malas untuk bertanya. Harga dirinya sangat tinggi sampai ia tidak ingin membuka mulut untuk Nino saat ini.

"Lo nggak pengin tahu?"

Nada masih diam, membuat senyum di bibir Nino mengembang. Cowok berambut keriting dengan potongan rapi itu mendapat ide untuk mengerjai Nada.

"Ya kalau nggak mau tahu, bagus. Berita ini bisa buat gue doang, dan lo bakal kehilangan jalan pintas buat diri lo," lanjut Nino dengan langkah pelan meninggalkan Nada.

Tiba-tiba Nada tersadar, perkataan Nino tadi seperti mirip dengan ucapan Ardo pagi tadi. Ia menggigit bibirnya, mulai menebak kalau kertas yang dipegang Nino adalah pengumuman jalan pintas masuk ke universitas impiannya.

"Berhenti situ," pinta Nada, memutar tubuhnya menghadap Nino yang mulai menjauh. "Itu apa?"

Nino tersenyum penuh kemenangan. "Pengin tahu?"

"Iya, cepetan itu apa?"

"Tunggu aja besok," jawab Nino sambil meledek Nada dengan menjulurkan lidahnya cepat lalu berlari meninggalkan Nada yang hanya bisa menghentakkan kakinya kesal.

"Ninoooo! Lihat, ya, besok bakal gue makan lo hidup-hidup!"

★ ★ ★

Semalaman Nada tidak bisa tidur, pikirannya melayang entah ke mana. Yang ia inginkan saat ini hanya mengetahui apa isi kertas yang dibawa Nino tadi. Dari awal ia sudah tahu kalau Nino tidak akan semudah itu memberi tahunya, hanya Nada saja yang bodoh rela bertanya pada cowok tengil itu.

Ia mengubah posisinya, berguling ke kanan, lalu ke kiri. Memutar letak kepalanya, ke samping, lalu ke bawah, sampai akhirnya kembali pada posisi normal. Ia benar-benar penasaran.

Tidak banyak orang yang tahu bahwa Nada adalah seorang pemikir keras yang terkadang berlebihan. Ia terlalu pintar menutupi sifat asli yang dirasanya buruk dari orang-orang. Kadang, Nada tertekan dengan betapa sempurna dirinya dipandang orang lain, tapi ia menyadari semua itu adalah ulahnya sendiri.

Nada mengecek jam di dinding, sudah pukul dua pagi. Berarti semalaman tadi dia memang tidak tidur sama sekali. Dengan malas ia bangun dan berlari ke kamar mandi, mungkin ia harus mandi sebelum benar-benar bisa tidur. Paling tidak, ia punya 3 jam lagi sebelum waktunya bangun.

★ ★ ★

Sepertinya sejak kemarin dewi keberuntungan sedang tidak berpihak pada cewek chubby yang sekarang sedang berlari kencang menuju kelasnya itu. Setelah semalaman ia tidak bisa tidur, paginya ia terlambat bangun dan berangkat ke sekolah.

Rekornya sebagai siswa yang tidak pernah terlambat terpatahkan hanya karena kegelisahan tidak jelasnya. Untung saja ia masuk tepat semenit sebelum guru mata pelajaran pertamanya masuk.

Napasnya masih putus-putus ketika sebuah botol dan tisu muncul di mejanya. Nada menengok dan menemukan Nino tersenyum kecil padanya, yang langsung ia balas dengan membuang muka.

Kadang, Nino memang begitu perhatian. Sejak kecil, kalau ia jatuh dan menangis, pasti Nino akan jadi orang pertama yang menghampiri dan membantunya bangun. Selalu begitu.

Hanya saja Nino juga paling sering mengganggunya, tidak pernah membiarkannya tenang meskipun satu hari saja. Keisengan Nino pun beraneka ragam. Bisa jadi ia akan menarik rambut Nada, menyembunyikan kotak makan siang Nada, atau yang lebih parah membuat Nada kehilangan sepatu dan tasnya.

"Nggak usah bilang makasih, gue udah terbiasa sama sikap seenaknya lo," bisik Nino tanpa suara, jarinya membentuk tanda oke sambil tertawa.

Nada menyingkirkan botol minum dan tisu yang diberikan Nino, lalu dengan tangannya ia merapikan rambut yang berantakan dan belum sempat ia ikat tadi.

"Ini adalah tawaran yang bagus dan Bapak yakin beberapa dari kalian yang akan tertarik," kata Pak Andi, wakil kepala sekolah yang entah sejak kapan masuk dan berdiri di sebelah guru kimianya.

"Jalur khusus untuk fakultas Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati studi Rekayasa, hanya untuk satu siswa dari tiap sekolah. Dan karena sekolah telah menimbang beberapa hal, ada dua siswa yang terpilih sebagai kandidat untuk jalur ini," lanjut Pak Andi.

Mata Nada berbinar, apa yang dikatakan Ardo benar-benar kenyataan. Mimpinya sudah sangat dekat dirinya, dan ia tidak akan membiarkan siapa pun menghancurkan apa yang harus menjadi miliknya. Siapa pun.

Dari dua kandidat tadi, Nada yakin bahwa ia adalah salah satunya. Berarti ia hanya perlu menyingkirkan satu orang lagi, dan itu sangat mudah. Tidak akan ada yang bisa mengalahkannya.

"Dan kandidatnya adalah Nadaratu Gyani dan Fernino Edirata."

Tangan Nada terkepal tanda sangat senang, ia akan menghancurkan Fer-eh?

"Fernino?" bisik Nada, kepalanya menengok ke samping dan ia menemukan sosok Nino dengan senyum lebar di bibirnya sedang melambai pada Nada.

"Gimana bi-astaga!" pekik Nada kesal, sangat kesal setengah mati.

"Untuk Nadaratu Gyani dan Fernino Edirata, kalian ditunggu di ruang tata usaha nanti siang, setelah jam istirahat siang," tutup Pak Andi.

Saat Nada melihat senyum lebar Nino kepadanya, saat itu juga Nada langsung tahu, bahwa Nino akan menjadi musuh yang sangat tidak bisa dianggap main-main. Ia akan menghancurkan Nada sebisa mungkin, dan Nada tidak akan membiarkannya membuat Nada jatuh. Tidak ada yang bisa menghancurkan Nada, tidak siapa pun.

★ ★ ★

Memoir of Nada [ON HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang