"MAKSUD lo apa, Nino?"
Di hadapan Nada kini telah berdiri sosok Nino dengan cengiran lebar di bibirnya. Kesal, Nada berjalan menghampiri cowok itu dan memukul pundaknya pelan.
"Lo tuh kenapa kalau ngomong suka nggak dipikir dulu, sih?" omel Nada sambil terus memukul bahu cowok di hadapannya yang mengelak dan berlari menjauh.
"Lo harusnya makasih sama gue karena udah nyelamatin lo dari nenek lampir yang nggak jelas maunya apa," jawab Nino setelah serangan ke arahnya terhenti.
Cowok itu berjalan beberapa langkah di depan Nada, sementara Nada mengikutinya sambil melipat tangan di dada. Ia sudah puas menyerang Nino dan tidak ingin menjawab apa pun lagi pernyataan cowok itu.
Pikiran Nada sekarang dipenuhi dengan kata-kata Eriska tadi dan adegan penembakan Ardo pada Hana. Sebenarnya, ia sangat pemikir dan tuduhan Eriska padanya soal Ardo benar-benar mengganggu pikirannya sekarang. Ia mulai berpikir, apa iya kedekatannya dan Ardo memang terlalu jauh? Apa selama ini ia memonopoli satu-satunya sahabat cowoknya itu?
"Udah mau nyampe kelas, jangan ngelamun," usik Nino sambil menarik lengan Nada pelan. Ia menaruh telunjuknya di bibir, memberi isyarat agar Nada jangan berisik.
Awalnya cewek itu mengerutkan kening, tapi saat dilihatnya Nino menunjuk pada kelas, ia baru mengerti kalau guru biologinya sudah mengajar di depan kelas. Sontak, cewek itu menggigiti kuku jarinya, gugup.
"Gimana, nih?" tanya Nada pelan, ia terus menggigiti kuku jarinya.
Nino memperhatikan Nada, lalu menarik tangan cewek itu dan memegangnya. "Jangan gigit-gigit kuku, nggak baik," Nino mengajak Nada mendekati pintu kelas, "udah kita masuk aja, bilang baru balik dari kamar mandi atau perpus."
Nada tidak langsung bereaksi, ia hanya diam dan memandangi tangannya yang terus dipegang Nino. Merasa tidak ada pergerakan dari cewek yang di belakangnya ini, Nino menoleh dan menemukan wajah datar Nada.
"Ayo masuk, ngapain lo ngeliatin gue kayak hantu gitu?"
Mendengar perkataan Nino, bibir Nada mengerucut, ia mengibaskan kencang tangannya agar terlepas dari pegangan Nino. "Gimana mau masuk kalo lo megangin tangan gue mulu kayak mau nyeberang?"
Tawa Nino nyaris meledak mendengar jawaban Nada. "Lo yang jadi nenek-nenek mau nyeberangnya, makanya harus gue pegangin."
Sebuah cibiran dihadiahkan Nada untuk cowok di hadapannya yang terus menahan tawa. Melihat itu, Nada berjalan melangkah masuk dan mengetuk pintu kelas.
"Permisi, Bu, maaf saya telat," pamit Nada sambil menunduk.
Bu Anet memandang Nada tajam, lalu mengangguk. "Silakan duduk. Lain kali tolong pasang alarm di ponsel kamu supaya tidak terlewat waktu istirahatnya."
Setelah mendengar izin dari Bu Anet, Nada segera berjalan ke bangkunya dan duduk. Tidak terlihat batang hidung Nino sejak tadi, padahal cowok itulah yang mengajaknya untuk segera masuk kelas.
Bu Anet terus menerangkan materi di depan kelas, sedikit tentang susunan DNA yang sudah Nada kuasai. Pikirannya kembali melayang ke kejadian tadi. Ia sama sekali tidak habis pikir bahwa Eriska akan melabrak dan menghinanya seperti tadi.
Bisa saja ia melawan, atau menampar pipi merah penuh blush on cewek bodoh itu. Sayangnya ia merasa tidak perlu melakukan tindakan kasar untuk sesuatu yang sama sekali bukan levelnya. Namun, tidak bisa dibohongi, Nada juga sangat tergangggu dengan tuduhan cewek bodoh itu.
Ting!
Ponsel di kantung seragam Nada berbunyi sangat pelan dan bergetar. Cepat, ia mengeluarkan ponsel itu dan membuka pesan whatsapp dari seseorang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memoir of Nada [ON HOLD]
Teen FictionBagi Nada, hanya ada dua hal yang menjadi tujuan hidupnya dan selalu dipegangnya erat. Pergi ke Praha bersama adik-adiknya, dan menjadi mahasiswa salah satu universitas negeri di Bandung dengan jurusan rekayasa pertanian. Sayangnya, mimpi itu teranc...