🦋 3 🦋

194 27 31
                                    

BUKAN Nino namanya jika ia membiarkan Nada yang terkejut setengah mati itu tetap diam membisu. Ia akan membuat Nada semakin kesal karena harus bersaing dengan Nino. Sepeninggal Pak Andi, Nino menulis sesuatu di kertas kecil dan melemparnya pada Nada.

Tuk!

Kertas itu mengenai dahi Nada telak, membuat Nada sedikit kesal dan mengusap dahinya pelan. Kekesalannya bertambah ketika melihat Ninolah pengirim surat situ. Ia pun membuka lipatan asal kertasnya.

Hai, rival! Bite me, come on.

Dengan gemas, Nada merobek kertas itu menjadi sangat kecil-kecil dan membuangnya asal. Masa bodoh dengan tugas piket tambahan yang harus dikerjakannya nanti. Ia sangat kesal karena harus bersaing dengan Nino kali ini.

Bukan, bukan karena Nada takut bersaing dengan Nino. Ia hanya tidak suka bersinggungan langsung dengan cowok yang merusak masa kecilnya. Bukan merusak sebenarnya, tapi sikap nakal Nino membuat Nada selalu kesal, dan itu sama saja merusak bagi cewek itu.

Bel istirahat berbunyi, Nada segera berlari ke ruang OSIS untuk menyerahkan rencana keuangan untuk pembiayaan latihan dasar kepemimpinan terakhir OSIS. Sesampainya di ruangan, ia menemukan Ardo dengan beberapa kertas di tangannya.

"Nad, kayaknya pembiayaan kita harus dikurusin lagi," ucap Ardo tanpa basa-basi. "Nggak di-accept, nih."

"Alasannya?"

Ardo menggeleng. "Biaya terlalu besar, tanggalnya mepet PTS, mungkin?"

"Kok mungkin? Nggak disebut memang?" tanya Nada bingung, ia mengerutkan kening dan memangku dagu dengan tangannya.

"Cuma bilang suruh revisi," jawab Ardo. "Kira-kira ada alternatif lain, nggak?"

Nada menggeleng pelan. "Buat saat ini nggak ada, tanya anggota lain coba. Chat aja di grup."

"Udah," jawab Ardo, mukanya terlihat sangat kusut. "Kesel gue, nggak jelas alasan ditolaknya. Padahal PTS masih November awal, kan? Acara ini pertengahan Oktober. Mananya mepet? Biayanya juga nggak segede tahun lalu padahal."

"Ya udah tenang dulu, nanti cari alternatif lain tunggu respon anak-anak," hibur Nada. Ia mencoba menenangkan Ardo yang memang kadang terlalu terburu-buru merasa panik.

"Eh, tadi udah diumumin, kan?"

"Apa?"

"Yang jalur itu, apa namanya, gue lupa," jawab Ardo lagi. "Lo masuk kandidat, kan?"

"Oh," Nada mengangguk paham. "Iya, masuk. Eh, lo tau nggak siapa yang jadi lawan gue?"

Ardo menggeleng. "Mana gue tau, seantero sekolah gue cuma tau elo doang yang pintar," jawabnya becanda yang langsung disambut dengan jitakan pelan Nada. "Nyiksa nih, ampun ampun. Siapa memang saingan lo?"

"Tebaklah!"

"Nyerah, udah."

"Gampang nyerah banget jadi orang," jawab Nada sambil tertawa, ia mencubit pelan lengan Ardo. "Saingan gue si Nino tengil."

"Nino?"

Nada mengangguk.

"Nino temen TK lo yang selalu satu sekolah sama lo dari dulu?"

Sebuah anggukan Nada menjawab pertanyaan Ardo lagi.

"Yang kalo ketemu lo ngegangguin lo terus dan kayak kucing sama anjing kalo bareng lo?"

Nada mengangguk untuk ketiga kalinya.

"Yang most wanted di sekolah?"

Anggukan Nada terhenti. "Hah? Most wanted apanya? Tengil gitu mana ada dia most wanted? Most haunted kali!"

Memoir of Nada [ON HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang