MATA kecil Nada terbuka lebar ketika ia memasuki ruang perpustakaan sekolahnya di jam istirahat ke dua siang ini. Ia berjalan pelan ke arah meja informasi dan memberikan kartu pelajarnya sebagai identitas.
Pustakawan di meja itu menerima kartu, lalu mengetik sesuatu dan memindai kartu pelajar Nada. Tidak butuh waktu lama, cewek itu berhasil masuk ke dalam dan menuju deretan lemari nomor satu, Filsafat.
Tangannya bergerak ke kantung seragam dan segera mengetik pesan untuk seseorang.
Tring!
Meja nomor lima setelah lorong tiga. Dari lorong satu belok kanan, lurus sampai ada dua cabang, ambil cabang kiri.
Isi pesan itu dibaca Nada berulang kali sampai akhirnya ia berjalan mengikuti instruksi yang diberikan. Hanya butuh beberapa menit untuk Nada sampai di dekat meja nomor lima, yang dimaksud oleh Nino.
"Kok ribet banget cari tempat belajar aja?" tanya Nada yang kini sudah duduk di depan Nino, cowok itu masih sibuk menulis di sebuah buku bersampul hitam.
"Makin sepi makin bagus," jawab Nino santai. "Jadi ada beberapa hal yang wajib lo tahu sebelun kita sepakat." Nino menyerahkan selembar kertas dengan tulisan yang diketik rapi.
Nada menaruh bukunya dan membaca poin demi poin yang tertulis rapi di sana. Sesekali kening cewek itu berkerut, kemudian menyunggingkan senyum simpul.
"Maksudnya poin nomor empat apa, nih?" tanya Nada, berusaha memelankan volume suaranya. Matanya memandang Nino kesal.
Nino mengangkat bahu, tidak acuh. "Coba baca sendiri, masa harus gue ajarin baca juga, Nad?"
Nada menyilangkan jari telunjuk dan jari tengahnya, kebiasaan yang selalu ia lakukan setiap menahan emosinya. "Pihak Pertama tidak diperkenankan melakukan intimidasi terhadap Pihak Ke Dua dalam bentuk apa pun juga."
Setelah membacakan ulang poin nomor empat itu, Nada memandang Nino tajam. "Maksudnya apa? Kapan memang gue pernah intimidasi lo?"
Kali ini senyum terukir singkat di bibir Nino. Ia menghentikan aktivitasnya dan memandang Nada. "Sering, kayak gini contohnya."
"Gimana?" tuntut Nada lagi.
"Ya begini," Nino menjawab santai, ia menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi, "ngegalakin gue, ngejutekin gue, ngejudesin gue. Itu semua udah masuk tindakan intimidasi."
Tangan Nada terkepal mendengar jawaban Nino. "Ya yang be—"
Sebelum Nada berhasil menyelesaikan kalimatnya, cowok berambut ikal itu sudah menghentikan kalimat Nada dengan menaruh jari telunjuknya di depan bibir Nada. Pipi chubby cewek itu memanas, ada semburat merah di sana.
"Kita lagi di mana, Nad? Perpus, kan? Jadi kalau mau ngomong, volume suaranya tolong dikecilin atau kita bakal diusir," kata Nino tenang, cowok itu menarik kembali jarinya dan melanjutkan aktivitas menulisnya.
Merasa malu, Nada pun tidak menanggapi. Ia berusaha menetralkan diri dan kembali membaca kertas perjanjian yang diberikan Nino.
"Poin nomor enam; Pihak Ke Dua bertanggungjawab penuh atas kenyamanan Pihak Pertama dalam proses belajar bersama. Untuk itu, Pihak Ke Dua diharuskan memperhatikan kesejahteraan perut Pihak Pertama," mata Nada berbinar. "Artinya gue bakal lo traktir makan terus kan?"
Nino mengangguk. "Ya, tapi selama kita belajar bareng aja. Misal sarapan, itu urusan lo. Kalau makan siang kayak sekarang, baru jadi urusan gue. Kelar belajar ini, kita bakal makan di kantin."
"Berdua aja?"
"Mau sekelas?" tanya Nino sambil menahan senyum. "Nanti jadi bahan gosip."
Bibir Nada mengerucut. "Kalau berduaan juga bakal jadi bahan gosip."
KAMU SEDANG MEMBACA
Memoir of Nada [ON HOLD]
Teen FictionBagi Nada, hanya ada dua hal yang menjadi tujuan hidupnya dan selalu dipegangnya erat. Pergi ke Praha bersama adik-adiknya, dan menjadi mahasiswa salah satu universitas negeri di Bandung dengan jurusan rekayasa pertanian. Sayangnya, mimpi itu teranc...